BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi
sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk
mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembanguan
yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun
masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar.
Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan
terhadap pendanaan yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut yang diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam kredit.
Kegiatan pinjam
meminjam uang sudah merupakan kegiatan yang sangat lumrah dalam kehidupan
bermasyarakat sekarang ini. Perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai
aspek pembangunan meliputi bidang produksi baik pertanian, perikanan,
perkebunan, kehutanan ataupun produksi bidang industri, investasi, perdagangan,
eksport import dan sebagainya. Dalam pembangunan sarana prasarana fisik dalam
pembangunan seperti halnya gedung-gedung, jembatan-jembatan, irigasi, perumahan
dan sebagainya.
Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal Perjanjian Kredit. Dalam pemberian fasilitas kredit yang
tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa
resiko, karena resiko mungkin saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib
membayar utangnya secara lunas atau tunai, melainkan debitur diberi kepercayaan
oleh Undang-Undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara
bertahap atau mencicil. Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau
kemacetan dalam pelunasan kredit (resiko kredit), resiko yang timbul karena
pergerakan pasar (resiko pasar), resiko karena bank tidak mampu memenuhi
kewajibannya yang telah jatuh tempo (resiko likuiditas), serta resiko karena
adanya kelemahan aspek yuridis yang disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung (resiko hukum) (Badriyah Harun,
2010:2).
Sebelum memberikan
kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama terhadap 7 (tujuh) hal
yang dikenal dengan istilah 7 P (Party, Purpose, Payment, Profitability,
Protection, Personality, and Prospect) (Badriyah Harun, 2010:13). Salah satu
hal yang dipersyaratkan bank sebagai kreditur dalam pemberian kredit yaitu
adanya protection atau perlindungan berupa jaminan yang harus diberikan debitur
guna menjamin pelunasan utangnya demi keamanan dan kepastian hukum, khususnya
apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan, debitur tidak meluasi
hutangnya atau melakukan wanprestasi.
Sesuai dengan
tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh kreditur, karena
perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu
perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu
barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang
dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, yaitu barang
dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi utang debitur, dan apabila
terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan kepada Debitur (Gatot Supramono,
1996:75).
Penjualan jaminan
kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk
memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak debitur
tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit, serta
hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan diderita
pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan yang
diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara lain dengan
mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui ketentuanketentuan hukum
yang mengatur tentang lembaga jaminan (M. Bahsan, 2007:5).
Fungsi lain jaminan
kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan dengan kesungguhan pihak debitur
untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan dan
menggunakan dana yang dimilikinya secara baik dan hati-hati, dimana hal
tersebut diharapkan akan mendorong pihak debitur untuk melunasi hutangnya
sehingga dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan kredit yang mungkin saja
tidak diinginkan karena memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan utang debitur kepada bank.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang pada uraian diatas, adapun rumusan masalahnya Bagaimanakah perlindungan
hukum bagi kreditur terhadap hak jaminan ?
C. Tujuan Penulisan
·
Untuk memenuhi tugas Hukum Jaminan
·
Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan
hukum bagi kreditur terhadap hak jaminan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi
manfaat dari makalah ini adalah :
1.
Manfaat Teoritis
a.
Bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan secara umum dan Ilmu Hukum pada khususnya terutama Hukum
Perdata
b.
Untuk memperoleh masukan yang
dapat digunakan almamater dalam mengembangkan bahan-bahan perkuliahan yang
telah ada
c.
Untuk memberikan gambaran yang
jelas dalam kaitannya dengan bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur dalam
perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan ketika debitur wanprestasi.
2.
Manfaat Praktis
a.
Dapat memberikan sumbangan
jawaban masalah yang sedang diteliti oleh penulis;
b.
Untuk lebih mengembangkan daya
pikir dan analisa yang akan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus mengukur
sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KREDIT DAN JAMINAN DI
LEMBAGA PEMBIAYAAN
1.
Perjanjian Kredit
Menurut UU RI No. 10
tahun 1998 dikatakan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal dimana pihak peminjam
berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu yang ditentukan dengan
sejumlah bunga yang disepakati.”
Mengetahui
pengertian dari suatu perjanjian kredit, Mariam Badrulzaman membedakan
pengertian tersebut kedalam 2 (dua) hal, yaitu:
a)
Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan
Artinya bahwa, perjanjian kredit
adalah “perjanjian pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan
ini merupakan hasil pemufakatan antar pemberi dan penerima perjanjian mengenai
hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian tersebut bersifat konsensual
obligator (perjanjian yang timbul atau terbentuk, bersifat mengikat).
Perjanjian kredit merupakan
perjanjian pendahuluan (pactum de contrafendo). Maksudnya adalah
perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-piutang (pinjam-meminjam).
Sedangkan perjanjian hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian
pendahuluan atau perjanjian kredit.
b)
Perjanjian
kredit sebagai perjanjian standar
Artinya bahwa, perjanjian yang
bentuk dan isinya telah disiapkan terlebih dahulu oleh kreditur, lantas
kemudian disodorkan kepada debitur.
Manfaat atau arti penting dari
pembuatan perjanjian kredit itu sendiri, antara lain adalah sebagai berikut :
·
Perjanjian kredit berfungsi
sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang
menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikat. Misalnya
perjanjian pengikatan jaminan.
·
Perjanjian kredit berfunsi
sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur
dan debitur.
·
Perjanjian kredit berfungsi
sebagai monitoring kredit.
2. Pertimbangan
Dalam Pemberian Kredit
Pertimbangan dalam pembayaran
kredit oleh bank harus dilakukan, untuk dapat terjadinya suatu kredit pada
bank, maka sebelum hal itu terjadi harus ada suatu permohonan untuk adanya hal
tersebut oleh calon nasabah. Bank sebelum menyalurkan kredit kepada nasabah,
terlebih dahulu mengadakan suatu penyelidikan terhadap calon nasabahnya.
Penyelidikan terhadap calon nasabah ini dimaksudkan agar Bank dalam penyaluran
kreditnya benar-benar tepat sasaran.
3.
Unsur – Unsur Perjanjian Kredit
Unsur-unsur
perjanjian kredit itu adalah sebagai berikut:
1)
Adanya kesepakatan atau
perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur, yang disebut dan dituangkan
dengan perjanjian kredit.
2)
Adanya para pihak, yaitu pihak
kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank. Dan pihak
debitur yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman atau barang atau
jasa.
3)
Adanya unsur kepercayaan dari
kreditur bahwa pihak debitur akan dan mampu membayar kreditnya.
4)
Adanya kesanggupan dan janji
membayar hutang dari pihak debitur kepada pihak kreditur.
5)
Adanya pemberian sejumlah
uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada debitur.
6)
Adanya pembayaran kembali
sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debitur kepada pihak kreditur, disertai
dengan pemberian imbalan atau bunga atau pembagian keuntungan.
7)
Adanya perbedaan waktu antara
pemberian kredit oleh kreditur dan pengembalian kredit oleh debitur.
8)
Adanya resiko tertentu yang
diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi, semakin jauh tenggang waktu
pengembalian, semakin besar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali
suatu kredit.
4. Wanprestasi
Dalam Perjanjian Kredit
Kata “wanprestasi” berasal dari
bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk di dalam suatu perjanjian. Salah
satu pihak dapat dianggap melakukan wanprestasi jika:
1)
Tidak melakukan apa yang telah
disanggupi atau dilaksanakan atau,
2)
Melaksanakan apa yang dijanjikan
tetapi tidak sebagaimana mestinya
3)
Melaksanakan apa yang dijanjikan
tetapi terlambat
4) Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Berdasarkan
pada ketentuan pasal 1238 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Si berhutang adalah lalai apabila dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi
perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Maka, tata cara memperingatkan
debitur supaya ia memenuhi prestasinya dilaksanakan dengan member peringatan
tertulis yang isinya mengatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam
waktu yang telah ditentukan.
Pihak debitur dalam hal telah
melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntutnya untuk melakukan:
1)
Meminta pelaksanaan perjanjian
meskipun terlambat
2)
Meminta penggantian kerugian
saja, yaitu kerugian yang diderita olehnya karena perjanjian tidak atau
terlambat dilaksanakan
3)
Menuntut pelaksanaan perjanjian,
atau
4)
Suatu perjanjian yang melibatkan
kewajiban timbal balik atau kelalaian dari satu pihak memberikan hak kepada
pihak yang lain untuk meminta kepada hakim agar perjanjian dibatalkan.
B.
Pengertian Hak Jaminan
Hak
kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan
yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi
kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi
terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Dengan
demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan
perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni
perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit).
Perjanjian
hutang piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun bersirat
dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni
dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan
kualitas yang sama.
a.
Macam-macam
Pelunasan Hutang
Dalam
pelunasan hutang adalah terdiri dari pelunasan bagi jaminan yang bersifat umum
dan jaminan yang bersifat khusus.
1. Jaminan Umum
Pelunasan
hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131KUH Perdata dan pasal 1132
KUH Perdata. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan
debitur baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak
bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan
pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan
secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya. Sedangkan
pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan
secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya.
Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni
besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada
alasan-alasan sah untuk didahulukan. Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan
pelunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain :
1)
Benda tersebut bersifat ekonomis
(dapat dinilai dengan uang).
2)
Benda tersebut dapat dipindah
tangankan haknya kepada pihak lain.
2. Jaminan Khusus
Pelunasan
hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi
pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.
a.
Penggolongan Jaminan Kredit
Jaminan mempunyai tugas
melancarkan dan mengamankan pemberian kredit. Menurut Subekti, jaminan yang
ideal adalah:
1)
Jaminan yang dapat secara mudah
membantu perolehan kredit tersebut oleh pihak yang memerlukan kredit.
2)
Jaminan yang tidak melemahkan
ketentuan potensi (kekuatan) si pemberi kredit untuk melakukan (meneruskan)
usahanya.
3)
Jaminan yang memberikan kepastian
kepada si pemberi, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk
dieksekusi, yaitu apabila perlu, dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya
si penerima kredit.
Proses pengajuan kredit ke lembaga pembiayaan
diawali dengan adanya sebuah perjanjian, yakni perjanjian kredit. Sebagaimana
pada umumnya perjanjian, maka harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang
termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok
(prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian
jaminan adalah assessoir-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung
pada perjanjian pokok Arti riil ialah bahwa terjanjinya perjanjian kredit
ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur.
Menurut
Sutan Remy Syahdeni, perjanjian kredit merupakan dasar yang memberikan hak bagi
nasabah untuk menggunakan kredit. Persetujuan pinjam-meminjam antara bank
dengan lain pihak (nasabah) dimana pihak peminjam berkewajiban melunasi
pinjamannya setelah jangka waktu tertentu dengan bunga yang telah ditetapkan
itu dinamakan perjanjian kredit atau akad kredit.
Dalam formulir surat perjanjian kredit yang disediakan oleh bank biasanya terdapat klausula-klausula sebagai berikut:
Dalam formulir surat perjanjian kredit yang disediakan oleh bank biasanya terdapat klausula-klausula sebagai berikut:
1)
Klausula pemutusan
kredit sewaktu-waktu
Dalam klausula ini
biasanya terdapat kata-kata sebagai berikut: ”Bank sewaktu-waktu tanpa harus
memperhatikan suatu jangka waktu tertentu dapat mengakhiri perjanjian ini.
Semua hutang pemegang rekening berdasarkan perjanjian ini yang menurut
pembukuan bank telah berjalan beberapa waktu dapat ditagih dengan segera”. Apabila bank kemudian terpaksa harus
melaksanakan klausula tersebut maka waktunya (timing) harus dipilih waktu yang
paling tepat sehingga menguntungkan bagi bank. Klausula ini biasanya
dipergunakan oleh bank dalam keadaan-keadaan tertentu. Pelaksanaan klausula ini
diperkuat dengan adanya aksep atas tunjuk dari debitur, yang dibuat dan ditanda
tangani bersamaan dengan penanda tanganan surat perjanjian kredit.
2)
Klausula Pengecualian
Dalam klausula ini
dicantumkan bahwa debitor diwajibkan untuk menggunakan jasa-jasa bank dimana ia
mendapat kredit dalam melakukan transaksi keuangannya.
3)
Klausula Kepastian
Tujuan daripada
klausula kepastian ialah agar adanya kepastian bagi bank untuk menerima kembali
pembayaran daripada kredit yang telah diberikannya. Dalam klausula ini biasanya
terdapat kata-kata sebagai berikut: ”Untuk menambah jaminan dan kepastian
tentang pembayaran kembali yang sepatutnya jumlah kredit yang dipergunakan dan
pelunasan yang seksama daripada bunga dan biaya lainnya yang timbul dari
perjanjian ini, maka pemegang rekening sebelum mempergunakan kredit ini harus
menyerahkannya jaminan kebendaan dengan segala pembebasan yang bagaimanapun
sifatnya kepada bank, untuk sama berlaku akta”
C.
Jaminan
Istilah
jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu
kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor,
yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis
sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap
krediturnya.
Selain
istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dilihat dalam
Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah :
”Jaminan
tambahan diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka mendapatkan
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”
Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitor kepada bank. Unsur-unsur agunan yakni:
Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitor kepada bank. Unsur-unsur agunan yakni:
1.
Jaminan tambahan
2.
Diserahkan oleh debitor
kepada bank
3. Untuk
mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
Menurut
M.Bahsan bahwa jaminan adalah seegala sesuatu yang diterima debitur untuk
menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat. Fungsi Jaminan sebagai sarana
perlindungan bagi keamanan kreditur dimana kepastian akan pelunasan hutang
debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin
debitor.
D. Definisi
Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum
adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain
dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain
perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.1 Perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat
melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum
memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.
Perlindungan hukum
adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan
oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan
adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai
subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.
Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu
tindakan hukum.
Perlindungan Hukum Bagi Pihak Kreditur
Perlindungan hukum terhadap kreditur ini diatur secara umum, yaitu:
diatur dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-undang No.42Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan, “segala
kebendaan, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” serta ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
masyarakat yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang
masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan” (Tjitrosudibio dan Subekti, 2006:291).
Bentuk jaminan yang
paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak
atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan
maupun hak pakai, karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang tinggi dan
terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya apabila debitur
sebagai penerima kredit dan kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit serta pihak
lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang
kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.
Menurut Pasal 1131
KUH Perdata, segala harta kekayaan seorang debitur, baik yang berupa
benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan hutangnya.
Dengan berlakunya ketentuan 1131 KUH Perdata itu, maka dengan sendirinya atau
demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur kepada setiap
krediturnya atas segala kekayaan debitur itu. Demikian juga halnya dalam
perjanjian kredit selalu diikuti dengan perjanjian pemberian jaminan, yang
umumnya adalah jaminan kebendaan oleh debitur kepada bank sebagai kreditur,
jika terjadi kredit macet maka pihak kreditur dapat mengeksekusi jaminan
kebendaan tersebut sebagai pengembalian utang di debitur. Permasalahan timbul
apabila terdapat beberapa kreditur dan ternyata debitur cidera janji terhadap
salah satu kreditor atau beberapa kreditur itu. Atau debitur jatuh pailit dan
harta kekayaannya harus dilikuidasi.
Sudah barang tentu
masing-masing kreditur merasa mempunyai hak terhadap harta kekayaan debitur itu
sebagai jaminan piutangnya masing-masing. Menurut ketentuan Pasal 1132 KUH
Perdata, harta kekayaan debitur itu menjadi jaminan secara bersama-sama bagi
semua kreditur yang memberi hutang kepada debitur yang bersangkutan. Menurut
Pasal 1132 KUH Perdata itu, hasil dari penjualan benda-benda yang menjadi
kekayaan debitur itu dibagi kepada semua krediturnya secara seimbang atau
proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing.
Namun, Pasal 1132
KUH Perdata, memberikan indikasi bahwa diantara para kreditur itu dapat
didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain apabila ada alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan itu. Alasan-alasan yang sah yang dimaksudkan didalam Pasal
1132 KUH Perdata itu, ialah alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Di antara alasan-alasan yang dimaksudkan oleh Pasal 1132 KUH Perdata itu,
diberikan oleh Pasal 1133 KUH Perdata, Menurut Pasal 1133 KUH Perdata itu, hak
untuk didahulukan bagi seorang kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain timbul dari hak istimewa, gadai dan hipotik (hak tanggungan). Urutan dari
hak untuk didahulukan yang timbul dari ketiga hak yang disebut dalam Pasal 1133
KUH Perdata itu, menurut Pasal 1134 KUH Perdata gadai dan hipotik (hak
tanggungan) lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal yang oleh
undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dari ketentuan Pasal
1132 KUH Perdata itu dan dihubungkan pula dengan ketentuan Pasal 1133 dan 1134
KUHPerdata, maka karena itu, para kreditur yang tidak mempunyai kedudukan untuk
didahulukan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang ditentukan oleh
undang-undang, mempunyai kedudukan yang sama. Sebagaimana telah ditentukan
dalam Pasal 1132 KUH Perdata, hak mereka untuk memperoleh pembagian dari hasil
penjualan harta kekayaan debitur, dalam hal debitor cidera janji, adalah
berimbang secara proporsional menurut besarnya masingmasing piutang mereka.
Pembagian menurut
keseimbangan itu mendapat penegasan kembali dalam Pasal 1136 KUH Perdata.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini:85 Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang
kreditur menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditur-kreditur lain.
Karena kedudukan yang sama dengan kreditur-kreditur lain itu berarti
mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditur-kreditur lain dari hasil
penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitur cidera janji, sebagaimana
menurut ketentuan Pasal 1132 dan 1136 KUH Perdata. Kedudukan yang berimbang itu
tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditur
yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya kreditur-kreditur lain
yang mungkin muncul di kemudian hari.
Makin banyak kreditur
dan debitur yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya
pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitur
menjadi berada dalam keadaan insolven (tidak. mampu membayar hutang-hutangnya).
Dan sebagai akibatnya, kernungkinan dinyatakan oleh pengadilan debitur itu
jatuh pailit dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh
undang-undang, seperti hipotik dan gadai, adalah untuk memberikan kedudukan
bagi seorang kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur
lain. Itulah pula tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang diatur oleh UUHT.
Kreditur-kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan terhadap
kreditur-kreditur lain, disebut kreditur konkuren. Sedangkan kreditur yang mempunyai
hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur
preferen.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap kreditur ini diatur secara umum, yaitu:
diatur dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-undang No.42Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan, “segala
kebendaan, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” serta ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
masyarakat yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang
masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan” (Tjitrosudibio dan Subekti, 2006:291).
Bentuk jaminan yang
paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak
atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan
maupun hak pakai, karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang tinggi dan
terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya apabila debitur
sebagai penerima kredit dan kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit serta
pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan
yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.
Pengadaan hak-hak
jaminan oleh undang-undang, seperti hipotik dan gadai, adalah untuk memberikan
kedudukan bagi seorang kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap
kreditur-kreditur lain. Itulah pula tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang
diatur oleh UUHT. Kreditur-kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan
terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur konkuren. Sedangkan kreditur
yang mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut
kreditur preferen.
B. Saran
Dengan berlakunya ketentuan 1131 KUH
Perdata itu, maka dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian
jaminan oleh seorang debitur kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan
debitur itu. Demikian juga halnya dalam perjanjian kredit selalu diikuti dengan
perjanjian pemberian jaminan, yang umumnya adalah jaminan kebendaan oleh
debitur kepada bank sebagai kreditur, jika terjadi kredit macet maka pihak
kreditur dapat mengeksekusi jaminan kebendaan tersebut sebagai pengembalian
utang di debitur.
DAFTAR PUSTAKA
(http://wordskripsi.blogspot.com/2010/03/014-pelaksanaan-pemberiankredit-dengan.html)
[Batam, 15 Januari 2016 pukul 15.03].
Wikipedia, “Perlindungan Hukum
tehadapKreditur”,core.ac.uk/download/ p df/12345418.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar