Scope

Scope

Sabtu, 23 Januari 2016

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR TERHADAP HAK JAMINAN

BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembanguan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam kredit.
Kegiatan pinjam meminjam uang sudah merupakan kegiatan yang sangat lumrah dalam kehidupan bermasyarakat sekarang ini. Perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan meliputi bidang produksi baik pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan ataupun produksi bidang industri, investasi, perdagangan, eksport import dan sebagainya. Dalam pembangunan sarana prasarana fisik dalam pembangunan seperti halnya gedung-gedung, jembatan-jembatan, irigasi, perumahan dan sebagainya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal Perjanjian Kredit. Dalam pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa resiko, karena resiko mungkin saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara lunas atau tunai, melainkan debitur diberi kepercayaan oleh Undang-Undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil. Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan kredit (resiko kredit), resiko yang timbul karena pergerakan pasar (resiko pasar), resiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo (resiko likuiditas), serta resiko karena adanya kelemahan aspek yuridis yang disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung (resiko hukum) (Badriyah Harun, 2010:2).
Sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama terhadap 7 (tujuh) hal yang dikenal dengan istilah 7 P (Party, Purpose, Payment, Profitability, Protection, Personality, and Prospect) (Badriyah Harun, 2010:13). Salah satu hal yang dipersyaratkan bank sebagai kreditur dalam pemberian kredit yaitu adanya protection atau perlindungan berupa jaminan yang harus diberikan debitur guna menjamin pelunasan utangnya demi keamanan dan kepastian hukum, khususnya apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan, debitur tidak meluasi hutangnya atau melakukan wanprestasi.
Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh kreditur, karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, yaitu barang dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi utang debitur, dan apabila terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan kepada Debitur (Gatot Supramono, 1996:75).
Penjualan jaminan kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank untuk memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian kredit, serta hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang akan diderita pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai tujuan yang diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara lain dengan mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang lembaga jaminan (M. Bahsan, 2007:5).
Fungsi lain jaminan kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan dengan kesungguhan pihak debitur untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan dan menggunakan dana yang dimilikinya secara baik dan hati-hati, dimana hal tersebut diharapkan akan mendorong pihak debitur untuk melunasi hutangnya sehingga dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan kredit yang mungkin saja tidak diinginkan karena memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang debitur kepada bank.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada uraian diatas, adapun rumusan masalahnya Bagaimanakah perlindungan hukum bagi kreditur terhadap hak jaminan ?

C.    Tujuan Penulisan
·         Untuk memenuhi tugas Hukum Jaminan
·         Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum bagi kreditur terhadap hak jaminan.

D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari makalah ini adalah :
1.      Manfaat Teoritis
a.       Bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan Ilmu Hukum pada khususnya terutama Hukum Perdata
b.      Untuk memperoleh masukan yang dapat digunakan almamater dalam mengembangkan bahan-bahan perkuliahan yang telah ada
c.       Untuk memberikan gambaran yang jelas dalam kaitannya dengan bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan ketika debitur wanprestasi.
2.      Manfaat Praktis
a.       Dapat memberikan sumbangan jawaban masalah yang sedang diteliti oleh penulis;
b.      Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan analisa yang akan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus mengukur sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    KREDIT DAN JAMINAN DI LEMBAGA PEMBIAYAAN
1.      Perjanjian Kredit
Menurut UU RI No. 10 tahun 1998 dikatakan bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal dimana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu yang ditentukan dengan sejumlah bunga yang disepakati.”
Mengetahui pengertian dari suatu perjanjian kredit, Mariam Badrulzaman membedakan pengertian tersebut kedalam 2 (dua) hal, yaitu:
a)      Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan
Artinya bahwa, perjanjian kredit adalah “perjanjian pendahuluan” dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antar pemberi dan penerima perjanjian mengenai hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian tersebut bersifat konsensual obligator (perjanjian yang timbul atau terbentuk, bersifat mengikat).
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrafendo). Maksudnya adalah perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-piutang (pinjam-meminjam). Sedangkan perjanjian hutang-piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit.
b)     Perjanjian kredit sebagai perjanjian standar
Artinya bahwa, perjanjian yang bentuk dan isinya telah disiapkan terlebih dahulu oleh kreditur, lantas kemudian disodorkan kepada debitur.
Manfaat atau arti penting dari pembuatan perjanjian kredit itu sendiri, antara lain adalah sebagai berikut :
·         Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikat. Misalnya perjanjian pengikatan jaminan.
·         Perjanjian kredit berfunsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur.
·         Perjanjian kredit berfungsi sebagai monitoring kredit.

2.      Pertimbangan Dalam Pemberian Kredit
Pertimbangan dalam pembayaran kredit oleh bank harus dilakukan, untuk dapat terjadinya suatu kredit pada bank, maka sebelum hal itu terjadi harus ada suatu permohonan untuk adanya hal tersebut oleh calon nasabah. Bank sebelum menyalurkan kredit kepada nasabah, terlebih dahulu mengadakan suatu penyelidikan terhadap calon nasabahnya. Penyelidikan terhadap calon nasabah ini dimaksudkan agar Bank dalam penyaluran kreditnya benar-benar tepat sasaran.
3.      Unsur – Unsur Perjanjian Kredit
Unsur-unsur perjanjian kredit itu adalah sebagai berikut:
1)      Adanya kesepakatan atau perjanjian antara pihak kreditur dengan debitur, yang disebut dan dituangkan dengan perjanjian kredit.
2)      Adanya para pihak, yaitu pihak kreditur sebagai pihak yang memberikan pinjaman, seperti bank. Dan pihak debitur yang merupakan pihak yang membutuhkan uang pinjaman atau barang atau jasa.
3)      Adanya unsur kepercayaan dari kreditur bahwa pihak debitur akan dan mampu membayar kreditnya.
4)      Adanya kesanggupan dan janji membayar hutang dari pihak debitur kepada pihak kreditur.
5)      Adanya pemberian sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak kreditur kepada debitur.
6)      Adanya pembayaran kembali sejumlah uang/barang/jasa oleh pihak debitur kepada pihak kreditur, disertai dengan pemberian imbalan atau bunga atau pembagian keuntungan.
7)      Adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit oleh kreditur dan pengembalian kredit oleh debitur.
8)      Adanya resiko tertentu yang diakibatkan karena adanya perbedaan waktu tadi, semakin jauh tenggang waktu pengembalian, semakin besar pula resiko tidak terlaksananya pembayaran kembali suatu kredit.
4.      Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit
Kata “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk di dalam suatu perjanjian. Salah satu pihak dapat dianggap melakukan wanprestasi jika:
1)      Tidak melakukan apa yang telah disanggupi atau dilaksanakan atau,
2)      Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya
3)      Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4)      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1238 KUH Perdata, yang berbunyi:
Si berhutang adalah lalai apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Maka, tata cara memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya dilaksanakan dengan member peringatan tertulis yang isinya mengatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang telah ditentukan.
Pihak debitur dalam hal telah melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntutnya untuk melakukan:
1)      Meminta pelaksanaan perjanjian meskipun terlambat
2)      Meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang diderita olehnya karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan
3)      Menuntut pelaksanaan perjanjian, atau
4)      Suatu perjanjian yang melibatkan kewajiban timbal balik atau kelalaian dari satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta kepada hakim agar perjanjian dibatalkan.
B.     Pengertian Hak Jaminan
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan) adalah hak jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Dengan demikian hak jaminan tidak dapat berdiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian hutang piutang (perjanjian kredit).
Perjanjian hutang piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun bersirat dalam pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjaman pengganti yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
a.      Macam-macam Pelunasan Hutang
Dalam pelunasan hutang adalah terdiri dari pelunasan bagi jaminan yang bersifat umum dan jaminan yang bersifat khusus.
1.      Jaminan Umum
Pelunasan hutang dengan jaminan umum didasarkan pada pasal 1131KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya. Sedangkan pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan harta kekayaan debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberikan hutang kepadanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yakni besar kecilnya piutang masing-masing kecuali diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Dalam hal ini benda yang dapat dijadikan pelunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan antara lain :
1)      Benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang).
2)      Benda tersebut dapat dipindah tangankan haknya kepada pihak lain.
2.      Jaminan Khusus
Pelunasan hutang dengan jaminan khusus merupakan hak khusus pada jaminan tertentu bagi pemegang gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.
a.      Penggolongan Jaminan Kredit
Jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit. Menurut Subekti, jaminan yang ideal adalah:
1)      Jaminan yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit tersebut oleh pihak yang memerlukan kredit.
2)      Jaminan yang tidak melemahkan ketentuan potensi (kekuatan) si pemberi kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya.
3)      Jaminan yang memberikan kepastian kepada si pemberi, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu apabila perlu, dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima kredit.
 Proses pengajuan kredit ke lembaga pembiayaan diawali dengan adanya sebuah perjanjian, yakni perjanjian kredit. Sebagaimana pada umumnya perjanjian, maka harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessoir-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok Arti riil ialah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur.
Menurut Sutan Remy Syahdeni, perjanjian kredit merupakan dasar yang memberikan hak bagi nasabah untuk menggunakan kredit. Persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain pihak (nasabah) dimana pihak peminjam berkewajiban melunasi pinjamannya setelah jangka waktu tertentu dengan bunga yang telah ditetapkan itu dinamakan perjanjian kredit atau akad kredit.
Dalam formulir surat perjanjian kredit yang disediakan oleh bank biasanya terdapat klausula-klausula sebagai berikut:
1)      Klausula pemutusan kredit sewaktu-waktu
Dalam klausula ini biasanya terdapat kata-kata sebagai berikut: ”Bank sewaktu-waktu tanpa harus memperhatikan suatu jangka waktu tertentu dapat mengakhiri perjanjian ini. Semua hutang pemegang rekening berdasarkan perjanjian ini yang menurut pembukuan bank telah berjalan beberapa waktu dapat ditagih dengan segera”.  Apabila bank kemudian terpaksa harus melaksanakan klausula tersebut maka waktunya (timing) harus dipilih waktu yang paling tepat sehingga menguntungkan bagi bank. Klausula ini biasanya dipergunakan oleh bank dalam keadaan-keadaan tertentu. Pelaksanaan klausula ini diperkuat dengan adanya aksep atas tunjuk dari debitur, yang dibuat dan ditanda tangani bersamaan dengan penanda tanganan surat perjanjian kredit.
2)      Klausula Pengecualian
Dalam klausula ini dicantumkan bahwa debitor diwajibkan untuk menggunakan jasa-jasa bank dimana ia mendapat kredit dalam melakukan transaksi keuangannya.
3)      Klausula Kepastian
Tujuan daripada klausula kepastian ialah agar adanya kepastian bagi bank untuk menerima kembali pembayaran daripada kredit yang telah diberikannya. Dalam klausula ini biasanya terdapat kata-kata sebagai berikut: ”Untuk menambah jaminan dan kepastian tentang pembayaran kembali yang sepatutnya jumlah kredit yang dipergunakan dan pelunasan yang seksama daripada bunga dan biaya lainnya yang timbul dari perjanjian ini, maka pemegang rekening sebelum mempergunakan kredit ini harus menyerahkannya jaminan kebendaan dengan segala pembebasan yang bagaimanapun sifatnya kepada bank, untuk sama berlaku akta”
C.    Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap krediturnya.
Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah :
”Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”
Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitor kepada bank. Unsur-unsur agunan yakni:
1.      Jaminan tambahan
2.      Diserahkan oleh debitor kepada bank
3.      Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
Menurut M.Bahsan bahwa jaminan adalah seegala sesuatu yang diterima debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat. Fungsi Jaminan sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur dimana kepastian akan pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitor.
D.    Definisi Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.1 Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.
Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.
Perlindungan Hukum Bagi Pihak Kreditur 
Perlindungan hukum terhadap kreditur ini diatur secara umum, yaitu: diatur dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-undang No.42Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan, “segala kebendaan, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” serta ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua masyarakat yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” (Tjitrosudibio dan Subekti, 2006:291).
Bentuk jaminan yang paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan maupun hak pakai, karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang tinggi dan terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya apabila debitur sebagai penerima kredit dan kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit serta pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.
Menurut Pasal 1131 KUH Perdata, segala harta kekayaan seorang debitur, baik yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan hutangnya. Dengan berlakunya ketentuan 1131 KUH Perdata itu, maka dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan debitur itu. Demikian juga halnya dalam perjanjian kredit selalu diikuti dengan perjanjian pemberian jaminan, yang umumnya adalah jaminan kebendaan oleh debitur kepada bank sebagai kreditur, jika terjadi kredit macet maka pihak kreditur dapat mengeksekusi jaminan kebendaan tersebut sebagai pengembalian utang di debitur. Permasalahan timbul apabila terdapat beberapa kreditur dan ternyata debitur cidera janji terhadap salah satu kreditor atau beberapa kreditur itu. Atau debitur jatuh pailit dan harta kekayaannya harus dilikuidasi.
Sudah barang tentu masing-masing kreditur merasa mempunyai hak terhadap harta kekayaan debitur itu sebagai jaminan piutangnya masing-masing. Menurut ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata, harta kekayaan debitur itu menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberi hutang kepada debitur yang bersangkutan. Menurut Pasal 1132 KUH Perdata itu, hasil dari penjualan benda-benda yang menjadi kekayaan debitur itu dibagi kepada semua krediturnya secara seimbang atau proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing.
Namun, Pasal 1132 KUH Perdata, memberikan indikasi bahwa diantara para kreditur itu dapat didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain apabila ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan itu. Alasan-alasan yang sah yang dimaksudkan didalam Pasal 1132 KUH Perdata itu, ialah alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Di antara alasan-alasan yang dimaksudkan oleh Pasal 1132 KUH Perdata itu, diberikan oleh Pasal 1133 KUH Perdata, Menurut Pasal 1133 KUH Perdata itu, hak untuk didahulukan bagi seorang kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain timbul dari hak istimewa, gadai dan hipotik (hak tanggungan). Urutan dari hak untuk didahulukan yang timbul dari ketiga hak yang disebut dalam Pasal 1133 KUH Perdata itu, menurut Pasal 1134 KUH Perdata gadai dan hipotik (hak tanggungan) lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal yang oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.
Dari ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata itu dan dihubungkan pula dengan ketentuan Pasal 1133 dan 1134 KUHPerdata, maka karena itu, para kreditur yang tidak mempunyai kedudukan untuk didahulukan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang, mempunyai kedudukan yang sama. Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1132 KUH Perdata, hak mereka untuk memperoleh pembagian dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, dalam hal debitor cidera janji, adalah berimbang secara proporsional menurut besarnya masingmasing piutang mereka.
Pembagian menurut keseimbangan itu mendapat penegasan kembali dalam Pasal 1136 KUH Perdata. Menurut Sutan Remy Sjahdeini:85 Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang kreditur menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditur-kreditur lain. Karena kedudukan yang sama dengan kreditur-kreditur lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditur-kreditur lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitur cidera janji, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1132 dan 1136 KUH Perdata. Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditur yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya kreditur-kreditur lain yang mungkin muncul di kemudian hari.
Makin banyak kreditur dan debitur yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitur menjadi berada dalam keadaan insolven (tidak. mampu membayar hutang-hutangnya). Dan sebagai akibatnya, kernungkinan dinyatakan oleh pengadilan debitur itu jatuh pailit dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang, seperti hipotik dan gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain. Itulah pula tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang diatur oleh UUHT. Kreditur-kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur konkuren. Sedangkan kreditur yang mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur preferen.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap kreditur ini diatur secara umum, yaitu: diatur dalam KUH Perdata Pasal 1131 dan 1132 dan Undang-undang No.42Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan, “segala kebendaan, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” serta ketentuan dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua masyarakat yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” (Tjitrosudibio dan Subekti, 2006:291).
Bentuk jaminan yang paling banyak digunakan sebagai agunan dalam perjanjian kredit bank adalah hak atas tanah, baik dengan status hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan maupun hak pakai, karena pada umumnya memiliki nilai atau harga yang tinggi dan terus meningkat, sehingga dalam hal ini sudah selayaknya apabila debitur sebagai penerima kredit dan kreditur sebagai pemberi fasilitas kredit serta pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.
Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang, seperti hipotik dan gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain. Itulah pula tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang diatur oleh UUHT. Kreditur-kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur konkuren. Sedangkan kreditur yang mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur preferen.

B.     Saran
     Dengan berlakunya ketentuan 1131 KUH Perdata itu, maka dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan debitur itu. Demikian juga halnya dalam perjanjian kredit selalu diikuti dengan perjanjian pemberian jaminan, yang umumnya adalah jaminan kebendaan oleh debitur kepada bank sebagai kreditur, jika terjadi kredit macet maka pihak kreditur dapat mengeksekusi jaminan kebendaan tersebut sebagai pengembalian utang di debitur.



DAFTAR PUSTAKA
(http://wordskripsi.blogspot.com/2010/03/014-pelaksanaan-pemberiankredit-dengan.html) [Batam, 15 Januari 2016 pukul 15.03].
Wikipedia, “Perlindungan Hukum tehadapKreditur”,core.ac.uk/download/ p df/12345418.pdf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar