Scope

Scope

Sabtu, 23 Januari 2016

ANALISA PERUBAHAN STATUS DARI PELAKU MENJADI KORBAN PADA PENYALAHGUNA NARKOTIKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemidanaan terhadap Pecandu Narkotika merupakan salah satu permasalahan yang selalu menjadi topik yang menarik untuk di bahas, karena selalu terdapat pro dan kontra yang mengiringi pembahasan masalah tersebut. Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu hukuman yang diberikan kepada seseorang yang melanggar aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini pecandu narkotika dikatakan sebagai pelanggar hukum karena telah menyalahgunakan narkotika.
Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi maka semakin banyak pemikiran yang berkembang tentang pemidanaaan khususnya terhadap pecandu narkotika, beberapa ahli memberikan pendapat bahwa dengan berkembangnya zaman maka hukum pidana yang ada juga harus dapat beradaptasi atau menyesuaikan dengan perkembangan yang ada di masyarakat maka, pembaharuan terhadap hukum pidana dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini. Pecandu narkotika adalah mereka yang sedang mengalami sakit baik secara fisik, mental maupun psikis yang diakibatkan penggunaan narkotika yang berlebihan atau tidak sesuai dosis penggunaannya, hal ini yang menyebabkan seorang pecandu narkotika seharusnya mendapat penanganan yang serius karena jika salah dalam penanganannya dapat berakibat fatal bagi si pecandu. Pidana seharusnya lebih dititikberatkan kepada pengedar narkotika karena dengan adanya pengedar yang menyebabkan munculnya penyalahguna narkotika yang kemudian melahirkan seorang pecandu narkotika, karena biar bagaimanapun pemberantasan narkotika harus dilihat titik sentralnya, sulitnya aparat penegak hukum melakukan pelacakan terhadap pengedaran narkotika di karenakan kejahatan tersebut dilakukan tidak secara perseorangan melaikan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Pentingnya pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap kasus tindak pidana narkotika yang memberikan dampak yang sangat buruk bagi perkembangan suatu bangsa, karena kebanyakan pecandu narkotika adalah mereka yang masih muda yaang diharapkan dapat menjadi generasi penerus bangsa dan dapat memajukan bangsa agar dapat menjadi lebih baik. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, diperlukan suatu kebijakan hokum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan.
Inilah yang menjadi problema dimasyarakat saat ini mengenai perubahan status dari pelaku menjadi korban di karenakan narkotika merupakan extra ordinary crime akan tetapi berbanding terbalik dengan statusnya yang dari pemakaia di katakana sebagai korban. berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk menulis dan meneliti mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Status Pelaku Menjadi Korban Bagi Pecandu Narkotika Dalam UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan yaitu Bagaimana tinjauan yuridis terhadap perubahan status dari pelaku menjadi korban bagi pencandu narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap perubahan status dari pelaku menjadi korban bagi pencandu narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?
D. Manfaat Penulisan
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:
1.      Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana mengenai perubahan status dari pelaku menjadi korban terhadap pencandu narkotika.
2.   Secara praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :  
a)      Bagi masyarakat untuk mengetahui perubahan status dari pelaku menjadi korban terhadap pencandu narkotika.
b)      Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika.
BAB II
PEMBAHASAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan pengertian mengenai narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, memberikan pengertian mengenai pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Pembaharuan hukum pidana  Menurut Barda Nawawi Arief, Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.Secara singkat, dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).
Berikut ini akan dipaparkan mengapa adanya perubahan dari pelaku menjadi korban terhadap pecandu narkotika menurut penulis.

A.    UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk hal-hal negative. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
a)      Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b)      Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;
c)      Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika; dan
d)     Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu narkotika.
Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Disamping itu, melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan adanya penyebaran narkotika yang juga telah menjangkau hampir ke semua wilayah Indonesia. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepaskan ketergantungannya.
Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala bidang. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan.
pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana nakotika. Realitasnya kondisi saat ini tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Undang-Undang baru ini memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sebelum undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna pengedar, bandar, maupun produsen narkoba, sama-sama dipenjara baik di Lapas umum maupun Lapas khusus narkoba. Kita masih ingat beberapa figure masyarakat dan artis terkenal dipenjara karena menggunakan narkoba, bahkan ada yang sampai 2 kali menjalani hukuman karena sudah kecanduan. Perlakuan yang tidak berbeda didasari pada hasil penyelidikan dan penyidikan bahwa antara pengguna pengedar narkoba, bandar, maupun produsen seringkali saling terkait erat dan sulit dibedakan. Artinya seorang pengguna pada akhirnya akan terjebak dalam lingkaran mafia narkoba ketika sudah tidak memiliki dana untuk memenuhi kecanduannya.
Pengguna atau pecandu sebenarnya bukan pelaku penyalahgunaan narkoba, lebih tepatnya adalah korban dari sindikat narkoba. Oleh karena itu, para pengguna atau pecandu lebih tepat disembuhkan melalui rehabilitasi. Pasal-pasal terkait dengan kewajiban melakukan rehabilitasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 adalah sebagaimana ditampilkan dalam uraian berikut ini.
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 54). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika (pasal 1 no 16). Sedangkan rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat (pasal 1 nomor 17).
Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (1)). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (2)).
Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56 (1)). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri (pasal 56 (2)). Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (pasal 57). Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat (pasal 58).

B.     Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang Pecandu Narkotika
Setelah undang-undang narkotika berjalan hampir selama 12 tahun, pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI no 7/2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009. Tentunya Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan langkah maju didalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika. Undang-undang tentang narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Telah terjadi suatu pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang ini, yakni dengan adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

C.    Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu:
1)      Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.
2)      Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.
3)      Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4)      Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5)      Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6)      Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.
D.    Persentase Penyalahgunaan Narkotika
Persentase penyalahgunaan narkotika terus di upayakan untuk seminimal mungkin bahkan tidak ada sama sekali, pemerintah terus mengepuyakan hal ini agar bangsa ini terbebas dari belenggu penyalahgunaan narkotika. Berikut akan di paparkan persentase penyalahgunaan narkotika berdasarkan data BNN tahun 2007 – 2010.
Dari data tersebut tampak jelas bagi pengonsumsi yang mengalami penurunan dari 16,897 menjadi 15,485 dan turun kembali pada tahun 2009 menjadi 14,184 dan turun drastis pada tahun 2010 menjadi 13,086.  
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penjara yang selama ini menjadi hukuman umum bagi penyalahguna narkoba termasuk pecandu, merupakan tindakan yang tidak tepat. Penjara hanya akan membuat  pecandu narkoba semakin fasih dalam kejahatan karena tidak dipungkiri bahwa penjara adalah tempat para penjahat “berbagi pengalaman”. Sebagai korban yang mengalami ketergantungan, sudah sepantasnya pecandu narkoba memperoleh pengobatan supaya pulih dan kembali ke masyarakat. Program terapi dan rehabilitasi menjadi alternatif “hukuman” yang lebih masuk akal dan manusiawi. Melalui program ini, pecandu narkoba memperoleh layanan baik secara medis untuk menyembuhkan ketergantungan mereka, maupun layanan non-medis atau sosial untuk mengembalikan fungsi sosial mereka di masyarakat. Kedua layanan ini haruslah dilakukan berkesinambungan dan berkelanjutan untuk memperoleh hasil yang optimal demi pulihnya pecandu narkoba.
Ada beberapa hal mengapa adanya perubahan status dari pelaku menjadi korban bagi pecandu narkotika, pertama, dari tujuan UU No 35 Tahun yaitu Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu narkotika. Kedua, adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, Ketiga, Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri, dan yang terakhir, berdasarkan data penyalahgunaan narkotika yang di keluarkan oleh BNN dari tahun 2007 – 2010 yang dimana adanya penurunan penyalahgunaan narkotika.

B.     Saran
Rehabilitasi membantu pecandu narkoba pulih dari “penyakit” mereka, tidak secara  instan namun melalui proses dan program jangka panjang. Hal inilah yang harus ditekankan  baik kepada pecandu maupun keluarganya. Diperlukan semangat tidak putus asa dan kesabaran selama menjadi program rehabilitasi, selain dukungan dari keluarga dan teman terdekat. Selain itu, diperlukan pula iktikad baik dari pemerintah untuk melaksanakan  peraturan dan kebijakan terkait hak rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Pendampingan yang tepat selama proses persidangan diperlukan untuk memastikan pecandu narkoba memperoleh hukuman yang tepat dan tidak dijebloskan ke penjara. Dukungan pendanaan dan sumber daya manusia yang memadai juga penting untuk memastikan proses rehabilitasi berjalan optimal. Diperlukan kerjasama dari semua pihak agar pecandu narkoba mendapat  penanganan yang tepat dan dapat kembali ke masyarakat menjalankan fungsi sosialnya kembali. Saran yang perlu penulis tegaskan adalah pada penggunaan rehabilitas bagi penyalahguna narkotika. Bagi pengedar dan bandar harus tetap mengikuti proses hokum yang berlaku bahkan wajib di hokum seberat-beratnya mengingat narkotika masuk ke dalam extra ordinary crime.









                                                                                                                              







DAFTAR PUSTAKA

http://gunarta.blogdetik.com/2010/06/10/pengguna-narkotika-tidak-lagi-dihukum-tetapi-wajib-melaksanakan-rehabilitasi/
http://e-journal.uajy.ac.id/6041/1/JURNAL.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar