BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemidanaan terhadap Pecandu Narkotika merupakan
salah satu permasalahan yang selalu menjadi topik yang menarik untuk di bahas,
karena selalu terdapat pro dan kontra yang mengiringi pembahasan masalah
tersebut. Pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang melanggar aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini
pecandu narkotika dikatakan sebagai pelanggar hukum karena telah
menyalahgunakan narkotika.
Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai
dengan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi maka semakin banyak pemikiran
yang berkembang tentang pemidanaaan khususnya terhadap pecandu narkotika,
beberapa ahli memberikan pendapat bahwa dengan berkembangnya zaman maka hukum pidana
yang ada juga harus dapat beradaptasi atau menyesuaikan dengan perkembangan
yang ada di masyarakat maka, pembaharuan terhadap hukum pidana dapat menjadi
jawaban atas permasalahan yang terjadi di masyarakat saat ini. Pecandu
narkotika adalah mereka yang sedang mengalami sakit baik secara fisik, mental
maupun psikis yang diakibatkan penggunaan narkotika yang berlebihan atau tidak
sesuai dosis penggunaannya, hal ini yang menyebabkan seorang pecandu narkotika seharusnya
mendapat penanganan yang serius karena jika salah dalam penanganannya dapat berakibat
fatal bagi si pecandu. Pidana seharusnya lebih dititikberatkan kepada pengedar
narkotika karena dengan adanya pengedar yang menyebabkan munculnya penyalahguna
narkotika yang kemudian melahirkan seorang pecandu narkotika, karena biar bagaimanapun
pemberantasan narkotika harus dilihat titik sentralnya, sulitnya aparat penegak
hukum melakukan pelacakan terhadap pengedaran narkotika di karenakan kejahatan
tersebut dilakukan tidak secara perseorangan melaikan melibatkan banyak orang
yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi
dengan jaringan luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di
tingkat nasional maupun internasional.
Pentingnya pemerintah memberikan perhatian khusus
terhadap kasus tindak pidana narkotika yang memberikan dampak yang sangat buruk
bagi perkembangan suatu bangsa, karena kebanyakan pecandu narkotika adalah mereka
yang masih muda yaang diharapkan dapat menjadi generasi penerus bangsa dan
dapat memajukan bangsa agar dapat menjadi lebih baik. Berkaitan dengan masalah
penyalahgunaan narkotika, diperlukan suatu kebijakan hokum pidana yang
memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan.
Inilah yang menjadi problema dimasyarakat saat ini
mengenai perubahan status dari pelaku menjadi korban di karenakan narkotika
merupakan extra ordinary crime akan tetapi berbanding terbalik dengan statusnya
yang dari pemakaia di katakana sebagai korban. berdasarkan hal-hal tersebut
maka penulis tertarik untuk menulis dan meneliti mengenai Tinjauan Yuridis
Terhadap Status Pelaku Menjadi Korban Bagi Pecandu Narkotika Dalam UU No 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah
tersebut maka dapat dirumuskan yaitu Bagaimana tinjauan yuridis terhadap
perubahan status dari pelaku menjadi korban bagi pencandu narkotika dalam UU
No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?
C. Tujuan
Penulisan
Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap perubahan
status dari pelaku menjadi korban bagi pencandu narkotika dalam UU No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika ?
D.
Manfaat Penulisan
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penulisan ini
juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:
1.
Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran
secara teoritis dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum
pidana mengenai perubahan status dari pelaku menjadi korban terhadap pencandu
narkotika.
2. Secara praktis
Penelitian
ini diharapkan bermanfaat untuk :
a)
Bagi masyarakat untuk
mengetahui perubahan status dari pelaku menjadi korban terhadap pencandu
narkotika.
b)
Bagi pemerintah sebagai
sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana dalam perumusan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika.
BAB
II
PEMBAHASAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, memberikan pengertian mengenai narkotika yaitu zat atau obat
yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika, memberikan pengertian mengenai pecandu narkotika yaitu
orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika baik secara fisik maupun psikis. Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh
dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat
agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika
tanpa hak atau melawan hukum. Pembaharuan
hukum pidana Menurut Barda Nawawi Arief, Pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik,
sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di
Indonesia.Secara singkat, dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana
pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).
Berikut ini akan dipaparkan mengapa
adanya perubahan dari pelaku menjadi korban terhadap pecandu narkotika menurut
penulis.
A. UU No 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika
Pada awalnya narkotika
digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan
pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan
untuk hal-hal negative. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan
khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi mengingat di dalam
narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta
kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Undang-Undang tentang
Narkotika bertujuan:
a) Menjamin
ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b) Mencegah,
melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;
c) Memberantas
peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika; dan
d)
Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi
medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu narkotika.
Pentingnya peredaran
narkotika diawasi secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk
hal-hal yang negatif. Disamping itu, melalui perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi, dan adanya penyebaran narkotika yang juga telah menjangkau
hampir ke semua wilayah Indonesia. Daerah yang sebelumnya tidak pernah
tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentral
peredaran narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap
barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepaskan
ketergantungannya.
Pecandu pada dasarnya
adalah merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar
peraturan pemerintah, dan mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia
yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan hampir di segala
bidang. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan
suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai
korban, bukan pelaku kejahatan.
pemerintah menetapkan
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini
merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi
yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana nakotika.
Realitasnya kondisi saat ini tindak pidana Narkotika telah bersifat
transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi,
teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah
banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang
sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Undang-Undang baru ini
memberikan perlakukan yang berbeda bagi pelaku penyalahgunaan narkoba. Sebelum
undang-undang ini berlaku, tidak ada perbedaan perlakuan antara pengguna
pengedar, bandar, maupun produsen narkoba, sama-sama dipenjara baik di Lapas
umum maupun Lapas khusus narkoba. Kita masih ingat beberapa figure masyarakat
dan artis terkenal dipenjara karena menggunakan narkoba, bahkan ada yang sampai
2 kali menjalani hukuman karena sudah kecanduan. Perlakuan yang tidak berbeda
didasari pada hasil penyelidikan dan penyidikan bahwa antara pengguna pengedar
narkoba, bandar, maupun produsen seringkali saling terkait erat dan sulit
dibedakan. Artinya seorang pengguna pada akhirnya akan terjebak dalam lingkaran
mafia narkoba ketika sudah tidak memiliki dana untuk memenuhi kecanduannya.
Pengguna atau pecandu
sebenarnya bukan pelaku penyalahgunaan narkoba, lebih tepatnya adalah korban
dari sindikat narkoba. Oleh karena itu, para pengguna atau pecandu lebih tepat
disembuhkan melalui rehabilitasi. Pasal-pasal terkait dengan kewajiban
melakukan rehabilitasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
adalah sebagaimana ditampilkan dalam uraian berikut ini.
Pecandu Narkotika dan
korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial (pasal 54). Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan
Narkotika (pasal 1 no 16). Sedangkan rehabilitasi Sosial adalah suatu proses
kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas
pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat (pasal 1 nomor 17).
Orang tua atau wali
dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55
(1)). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial (pasal 55 (2)).
Rehabilitasi medis
Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri (pasal 56
(1)). Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika
setelah mendapat persetujuan Menteri (pasal 56 (2)). Selain melalui pengobatan
dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan
keagamaan dan tradisional (pasal 57). Rehabilitasi sosial mantan Pecandu
Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat
(pasal 58).
B. Surat Edaran Mahkamah Agung Tentang
Pecandu Narkotika
Setelah undang-undang narkotika berjalan
hampir selama 12 tahun, pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah
surat edaran (SEMA RI no 7/2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di
panti rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban
Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 07 Tahun 2009. Tentunya Surat Edaran Mahkamah Agung ini merupakan langkah
maju didalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi
terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana
penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana
menjadi perilaku biasa. Hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti
tidak dapat menurunkan jumlah penyalahguna narkotika. Undang-undang tentang
narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Telah terjadi suatu
pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang ini, yakni dengan adanya
dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
C.
Berdasarkan
tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu:
1) Unrelated
victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan pelaku.
2) Provocative
victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong
dirinya menjadi korban.
3) Participating
victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4) Biologically
weak victims, yaitu mereka yang secara fisik
memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5) Socially
weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan
sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6) Self
victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban
karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Pecandu narkotika
merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu narkotika menderita
sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya
sendiri.
D. Persentase Penyalahgunaan Narkotika
Persentase
penyalahgunaan narkotika terus di upayakan untuk seminimal mungkin bahkan tidak
ada sama sekali, pemerintah terus mengepuyakan hal ini agar bangsa ini terbebas
dari belenggu penyalahgunaan narkotika. Berikut akan di paparkan persentase
penyalahgunaan narkotika berdasarkan data BNN tahun 2007 – 2010.
Dari
data tersebut tampak jelas bagi pengonsumsi yang mengalami penurunan dari
16,897 menjadi 15,485 dan turun kembali pada tahun 2009 menjadi 14,184 dan
turun drastis pada tahun 2010 menjadi 13,086.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penjara yang selama ini menjadi hukuman umum bagi
penyalahguna narkoba termasuk pecandu, merupakan tindakan yang tidak tepat.
Penjara hanya akan membuat pecandu narkoba semakin fasih dalam kejahatan
karena tidak dipungkiri bahwa penjara adalah tempat para penjahat “berbagi
pengalaman”. Sebagai korban yang mengalami ketergantungan, sudah sepantasnya
pecandu narkoba memperoleh pengobatan supaya pulih dan kembali ke masyarakat.
Program terapi dan rehabilitasi menjadi alternatif “hukuman” yang lebih masuk
akal dan manusiawi. Melalui program ini, pecandu narkoba memperoleh layanan
baik secara medis untuk menyembuhkan ketergantungan mereka, maupun layanan
non-medis atau sosial untuk mengembalikan fungsi sosial mereka di masyarakat.
Kedua layanan ini haruslah dilakukan berkesinambungan dan berkelanjutan untuk
memperoleh hasil yang optimal demi pulihnya pecandu narkoba.
Ada beberapa hal mengapa adanya perubahan status dari pelaku
menjadi korban bagi pecandu narkotika, pertama, dari tujuan UU No 35 Tahun
yaitu
Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan
pecandu narkotika. Kedua, adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan
Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial,
Ketiga, Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena
pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan
narkotika yang dilakukannya sendiri, dan yang terakhir, berdasarkan data
penyalahgunaan narkotika yang di keluarkan oleh BNN dari tahun 2007 – 2010 yang
dimana adanya penurunan penyalahgunaan narkotika.
B.
Saran
Rehabilitasi membantu pecandu narkoba pulih dari “penyakit”
mereka, tidak secara instan namun
melalui proses dan program jangka panjang. Hal inilah yang harus ditekankan
baik kepada pecandu maupun keluarganya. Diperlukan semangat tidak putus
asa dan kesabaran selama menjadi program rehabilitasi, selain dukungan dari
keluarga dan teman terdekat. Selain itu, diperlukan pula iktikad baik dari
pemerintah untuk melaksanakan peraturan dan kebijakan terkait hak
rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Pendampingan yang tepat selama proses
persidangan diperlukan untuk memastikan pecandu narkoba memperoleh hukuman yang
tepat dan tidak dijebloskan ke penjara. Dukungan pendanaan dan sumber daya
manusia yang memadai juga penting untuk memastikan proses rehabilitasi berjalan
optimal. Diperlukan kerjasama dari semua pihak agar pecandu narkoba mendapat
penanganan yang tepat dan dapat kembali ke masyarakat menjalankan fungsi
sosialnya kembali. Saran yang perlu penulis tegaskan adalah pada penggunaan
rehabilitas bagi penyalahguna narkotika. Bagi pengedar dan bandar harus tetap
mengikuti proses hokum yang berlaku bahkan wajib di hokum seberat-beratnya
mengingat narkotika masuk ke dalam extra ordinary crime.
DAFTAR
PUSTAKA
http://gunarta.blogdetik.com/2010/06/10/pengguna-narkotika-tidak-lagi-dihukum-tetapi-wajib-melaksanakan-rehabilitasi/
http://e-journal.uajy.ac.id/6041/1/JURNAL.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar