Scope

Scope

Senin, 12 Oktober 2015

PENEGAKAN HUKUM RESTORATIVE JUSTICE DALAM UPAYA MENEKAN MENINGKATNYA ANGKA KEJAHATAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang seiring dengan makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai permasalahan tersebut membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Akan tetapi pemahaman masyarakat di Indonesia mengidentikkan penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat penegaknya antara lain, polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana oleh masyarakat ditempuh melalui sistem peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama dilakukan adalah membuat laporan polisi. Penyelesaian seperti ini diharapkan memberi efek jera pada pelaku tindak pidana. Melalui laporan polisi ini korban berharap ada keadilan di mana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir dari sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa keadilan dalam masyarakat. Berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa belum mewujudkan keseimbangan dan mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat.
Penegakan hukum sangatlah erat dengan masyarakat, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Carl von Savigny, di mana menurutnya “Das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Namun, ternyata Hukum modern yang dipakai oleh bangsa Indonesia dikembangkan tidak dari dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside). Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat, khususnya Eropa. Maka sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran hukum modern adalah cerita tentang sejarah sosial Eropa. Hukum modern memiliki tipe Liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi penting dan memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk menjaga dan mengamankan kebebasan individu. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern. Positivisme inilah yang selama ini tertanam di benak kebanyakan para sarjana hukum di Indonesia. Akibatnya sangat mempengaruhi pola berpikir penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yaitu harus sesuai pada hukum positif yang ada.
Menurut Satjipto Raharjo, penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum ke arah jalur lambat. Hal ini karena penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan. Hukum pidana adalah ultimum remidium yang berarti suatu upaya terakhir yang ditempuh bilamana tidak ada upaya lain untuk menyelesaikan perkara. Namun, pada perkembangannya hukum pidana justru digunakan sebagai upaya pertama dalam menyelesaikan suatu masalah antara orang yang satu dengan yang lain. Bahkan ada suatu perkara yang sebenarnya termasuk dalam ranah perdata dipaksanakan menjadi pidana. Pergeseran fungsi hukum pidana ini menunjukkan bahwa masyarakat telah meninggalkan sedikit demi sedikit budaya berhukum. Padahal dalam suatu masyarakat masih mempunyai hukum adat yang berfungsi lebih efektif dalam menyelesaikan suatu masalah.
Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang diterbitksan oleh PBB disebutkan bahwa : “Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the community. Hubungan dengan penegakan hukum pidana, maka restorative justice merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah pidana yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya suatu keadilan.
Menurut Bagir Manan, substansi restorative justice mengandung prinsip yang dapat membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Selain itu juga menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions). Prinsip restorative justice menurut Bagir Manan ini sangat memungkinkan peran serta masyarakat dalam menentukan hukum yang seimbang dan adil.
Konsep restorative justice pada dasarnya sejalan dengan teori hukum progresif yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Menurut Satjipto Rahardjo inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan manusia. Oleh karena itu cara penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada teks undang-undang. Tujuan yang henadak dicapai dalam penyelesaian tersebut ialah kembalinya harmonisasi sosial yang seimbang antara pelaku, korban dan masyarakat. Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya memulihkan/mengembalikan  kerugian  atau  akibat  yang  ditimbulkan  oleh  tindak  pidana, dan  pelaku  dalam hal ini  diberi kesempatan untuk dilibatkan  dalam upaya  pemulihan  tersebut, semua itu  dalam rangka  memelihara  ketertiban masyarakat dan memelihara perdamaian yang adil. Dengan kata lain ketiga prinsip tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut : pertama, justice requires that we work to restore those who have been injured; kedua, those most directly involved and affecttted by crime should have the.
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka. Selain itu restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
Melalui restorative justice tidak semua perkara pidana harus selesai di meja hijau, namun dapat diakhiri antara sendiri antara pelaku dan korban. Cara penyelesaian yang ditempuh melalui restorative justice sesuai dengan budaya dan ideologi bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila. Hasil penyelesaian dapat dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penyelesaian memperhatikan nilai kemanusiaan yang adil dan beradap bagi kedua belah pihak, dan tentunya dapat tercipta kembali kondisi sosial sebagaimana sebelum terjadi tindak pidana.

B.   Permasalahan
Penyelesaian melalui restorative justice ke depannya akan menuju kepada penyelesaian secara fleksibel tanpa harus terpaku pada undang-undang dan penegak hukum. Akan tetapi harus dilihat terlebih dahulu bagaimana selama restorative justice telah diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini antara lain : Pertama, sejauh mana restorative justice dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk mencapai keadilan ? Kedua, Bagaimana mewujudkan keseimbangan antara pelaku dan korban tindak pidana guna menuju cara berhukum yang fleksibel.
BAB II
Pembahasan

A.   Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia
Bangsa Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Konti­nen­tal (civil law), biasanya cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah­kan, masyarakat pun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di­akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Seharusnya memahami hukum secara kompre­hen­sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja. Salah satu dari pengaruh tradisi hukum eropa continental tersebut di antaranya penegakan hukum di Indonesia cenderung normatif, atau sesuai dengan peraturan tertulis. Kecenderungan seperti ini sering disebut sebagai positivisme di mana penegakan hukum harus berdasarkan pada hukum positif. Penegakan hukum berdasarkan hukum positif ini berhubungan erat asas legalitas. Artinya Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu. Lalu bagaimana jika suatu perbuatan itu belum ada peraturan yang melarangnya, padahal jelas-jelas itu mendatangkan kerugian bagi orang lain, atau perbuatan itu dalam etika bermasyarakat tidak bisa diterima, tentu orang yang melakukanya bisa mengatakan bahwa tidak ada Undang-Undang yang melarang perbuatan saya ini. Penegakan hukum tentunya tidak bisa lepas dari para penegak hukum, seperti Polisi, jaksa, hakim, advokat. Lalu bisakah dibayangkan bila semua penegak hukum itu berpedoman pada hukum positif. Menjadi pertanyaan memang, tentang bagaimana seharusnya cara berhukum itu, menegakkan keadilannya atau hukumnya, dicari peraturannya dulu atau diutamakan hati nurani. Selama ini memang para penegak hukum di Indonesia masih terikat pada paham positivistik, baik dalam hukum formil maupun materiilnya. Dari sini tugas yang terberat adalah di pundak seorang hakim, karena apapun perkara di hadapannya harus diputus, baik itu ada aturannya atau tidak. Dalam kondisi seperti ini menjadi pertanyaan bolehkah aparat penegak hukum membuat hukum sendiri demi mencapai keadilan.
Penulis mengambil contoh dengan melakukan penelitian terhadap tindak pidana percobaan pencurian dengan pemberatan di wilayah hukum Polsek Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Tindak pidana ini dilakukan oleh dua orang yang masih berstatus sebagai pelajar, yaitu Luthfi Widayanto (18 tahun) dan Cahyo Wijanarko (15 tahun) pada tanggal 22 Maret 2013. Barang yang akan dicuri oleh pelaku berupa dagangan korban yang bernilai sekitar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Korban yang merasa dirugikan akhirnya melaporkan kedua pelaku ke Polsek Jaten Karangnyar sebagaimana dalam Laporan Polisi No.Pol : LP/12/III/2013/Sek. Jaten. Pelaku oleh penyidik dikenakan Pasal 53 KUHP dan/atau Pasal 363 ayat (11) ke 3e,4e,5e KUHP dan ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu penyidik juga melakukan penahanan terhadap kedua tersangka.
Pihak keluarga, dalam hal ini orang tuanya setelah mengetahui Tersangka ditahan kemudian berusaha menemui korban dan mengusahakan agar tindak pidana tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Polsek Jaten pun menganjurkan demikian, namun selama belum tercapai perdamaian antara keluarga tersangka dan korban maka Polsek akan tetap menahan kedua Tersangka. Pihak korban pada awalnya sudah tidak keberatan untuk menyelesaikan secara musyawarah, namun agar hasil perdamaian ini bisa diterima oleh masyarakat di sekitar korban, maka akan dilakukan musyawarah secara kekeluargaan dengan melibatkan tokoh masyarakat. Penanganan perkara pidana dalam kasus ini sangat memperhatikan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana. Selain itu penyelesaian dilakukan dengan melibatkan masyarakat tempat terjadinya tindak pidana. Adanya peran dari masyarakat di sini menunjukkan bahwa hasil penyelesaian perkara pidana harus dapat dipertanggungjawabkan dan diterima masyarakat. Penyelesaian ini sejalan dengan restorative justice. Menurut penulis dalam perkara serupa restorative justice dapat ditempuh untuk menyelesaikan tindak pidana.
Contoh lain penerapan restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusan perkara pidana Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009. Perkara ini bermula dari pengaduan korban bernama Erniwati tentang tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh Ismayawati. Pada persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta pengadu mengajukan permohonan pencabutan pengaduan kepada Majelis Hakim. Adapun alasan pencabutan tersebut dikarenakan sebagai berikut:
a)    terdakwa merupakan menantu dari pengadu
b)    terdakwa mempunyai dua orang anak yang masih kecil
c)    pengadu telah memaafkan terdakwa
d)    pengadu telah mengikhlaskan kerugian yang ia derita
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta akhirnya membacakan putusan yang amarnya menyatakan tuntutan dalam perkara ini tidak dapat diterima. Namun, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan pertimbangan pencabutan tersebut sudah melewati batas waktu yang ditentukan dalam KUHP. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yang sangat memperhatikan prinsip keadilan restoratif. Mahkamah Agung dengan tegas menilai bahwa Pengadilan Tinggi Yogyakarta bersifat kaku dan terlalu formalistik oleh karena itu harus dibatalkan. Di Indonesia sangatlah jarang ditemui pertimbangan hukum seperti ini. Pertimbangan hukum biasanya hanya dilihat dari aspek normatifnya saja. Dalam perkara ini Mahkamah Agung menegaskan bahwa tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun ini adalah perkara pidana, namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan.  Ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih induvidu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.
Mahkamah Agung sebelumnya juga pernah mengeluarkan putusan yang mempertimbangkan restorative justice dalam perkara tindak pidana pembunuhan Nomor : 107 PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007 atas nama Terdakwa Adiguna Sutowo. Orang tua korban telah membuat surat pernyataan yang intinya telah memaafkan terdakwa namun oleh judex factie tidak dipertimbangkan. Perdamaian ini menurut Mahkamah Agung seharusnya dapat di jadikan alasan untuk pertimbangan yang lebih meringankan pidana yang dijatuhkan khususnya yang berkaitan dengan dakwaan primair, apabila judex facti /judex iuris telah mengetahui adanya putusan yang bersifat memenuhi keadilan sosiologis (restorative justice) tersebut pada waktu persidangan berlangsung. Dalam putusan Nomor 107 PK/Pid/2006 ini Mahkamah Agung mendefinisikan bahwa restoratif justice adalah suatu proses melalui mana para pelaku kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada masyarakat yang sebagai balasannya, mengizinkan bergabungnya kembali pelaku kejahatan yang bersangkutan ke dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan di sini lebih bersifat edukatif dan korektif dengan tetap memperhatikan tujuan pemidanaan yang bersifat preventif. atas dasar itulah Mahkamah Agung meringankan vonis terhadap terdakwa dari tujuh tahun menjadi empat tahun penjara.
Pada dasarnya setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi orang lain maka mewajibkan orang tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya. Begitu pula dalam hukum pidana, seseorang yang melakukan suatu tindak pidana memang harus dihukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam rangka penegakan hukum. Namun, harus dipahami pula aspek sosiologis dari penegakan hukum pidana itu. Jangan sampai penegakan hukum justru malah memperburuk harmonisasi sosial dalam masyarakat. Tujuan dari penegakan hukum itu sendiri tidak terlepas dari terciptanya kembali disharmonisasi sosial dalam masyarakat yang sempat hilang akibat suatu perbuatan. Apabila penyelesaian masalah sudah terdapat jalan keluar terbaik, maka tidak perlu penegakan hukum yang pelaksanaannya memperburuk kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang seperti ini memang tidak tersurat dalam hukum positif. Tetapi merupakan improvisasi hati nurani manusia dalam menegakkan keadilan.
Restorative justice merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum. Penyelesaian seperti di atas sama halnya dengan konsep yang dicantumkan PBB dalam Handbook on Restorative Justice Programmes. Adanya peran masyarakat dalam penyelesaian perkara menunjukkan bahwa hukum pidana ini bersifat publik, oleh karenanya publik pun harus terlibat dan memantau pelaksanaanya. Selama ini penyelesaian perkara pidana hanya dilakukan aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim. Masyarakat tidak dimungkinkan untuk ikut berpartisipasi karena setelah perkara diambil alih aparat penegak hukum di situ kewenangan diberikan oleh Negara tanpa ada yang boleh ikut campur sedikitpun.
Dimungkinkannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan diperkuat dengan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang ini menurut penulis merupakan reformasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini karena terdapat penyelesaian yang lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem peradilan formal yang selama ini diterapkan. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Undang-Undang ini juga memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui diversi. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana. Diversi ini bertujuan sebagai berikut :
a)    mencapai perdamaian antara korban dan anak
b)    menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan
c)    menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan
d)    mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
e)    menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak
Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan bahwa penerapan restorative justice dalam penanganan perkara pidana di Indonesia telah dimungkinkan pelaksanaannya.  Dalam berhukum memang seharusnya para pihak mempunyai hak dan kewenangan untuk ikut serta penyelesaian, sehingga tidak hanya menjadi monopoli aparat penegak hukum.  Namun, hambatan yang muncul seringkali terbentur dengan tidak adanya pengaturan dalam hukum tertulis. Dasar hukum penyelesaian perkara pidana dengan diversi  saat ini hanya terbatas pada sistem peradilan anak, sedangkan untuk orang dewasa masih berpedoman pada KUHAP.

B.   Menuju Cara Berhukum yang Fleksibel
Pada setiap masyarakat terdapat sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk mampu menjadi representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu setiap pemerintahan harus mampu menerapkan system pengaturan masyarakat yang menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru menjalankan suatu orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan secara tidak adil, maka bisa dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan berlangsung lama. Tanpa keadilan maka kemakmuran yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina akan segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu hanya terpusat pada segelintir orang saja.
Hasil penyelesaian perkara pidana harus dapat mencapai keadilan bagi masing-masing pihak pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hukuman yang dijatuhkan hendaknya pula berkemanusiaan yang adil dan beradab. Keadilan ini dapat diwujudkan dalam keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Keseimbangan yang adil akan mampu mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum tindak pidana terjadi. Pelaku akan lebih bertanggungjawab pada perbuatan yang ia lakukan, sehingga timbul hati nurani untuk meminta maaf dan berusaha tidak mengulangi tindak pidana lagi. Korban pun juga dapat merasakan keseimbangan yang adil bilamana kerugian yang ia derita akibat tindak pidana dapat tergantikan. Dalam hukum pidana yang diatur di KUHP, memang tidak dikenal kewajiban ganti kerugian yang dibebankan terhadap pelaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi korban di mana setelah perkara ditangani oleh aparat penegak hukum, maka tertutuplah bagi korban untuk menuntut kerugiannya. KUHAP engatur kewenangan menuntut di muka persidangan hanya ada pada jaksa yang bertindak mewakili Negara. Memang masalah ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dapat ditempuh secara perdata dengan mengajukan gugatan di pengadilan, namun itu memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Oleh karena itu diperlukan penyelesaian perkara pidana secara cepat tepat sesuai keinginan korban dan kemampuan pelaku. Di sinilah keseimbangan yang adil dapat diwujudkan.
Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu dalam berhukum tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya. Tidak seharusnya keadilan bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan menggali keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu menafsirkan hukum yang berkeadilan.
Pendapat Mahfud MD menyatakan bahwa hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari belenggu undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan keadilan subtantif. Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia. Sebenarnya perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. Pada irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan bukan “Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.” Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski-jika terpaksa melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan. Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat vonis. Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang. Dalam sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan. Pendapat Mahfud MD ini menurut penulis sejalan dengan pertimbangan hakim agung yang mengadili perkara nomor Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007 dan Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009. Pada kedua putusan ini hakim agung lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan restoratif dari pada kepastian hukum.
Berdasarkan contoh-contoh kasus yang penulis kaji di atas, maka penerapan restorative justice dalam perkara pidana mempunyai persyaratan sebagai berikut Pertama, harus terdapat niatan atau itikad dari para pihak termasuk masyarakat. Itikad ini muncul dari hati nurani untuk memaafkan pelaku tindak pidana. Tanpa ada niatan dari semua pihak maka restorative justice mustahil untuk diwujudkan. Kedua, pelaku tindak pidana benar-benar menyesal dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Pelaku dalam hal ini harus meminta maaf kepada korban dan keluarganya. Ketiga, bentuk perdamaian berjalan secara seimbang yang membuat korban atau keluarganya tidak akan menuntut lagi terhadap pelaku. Keempat, bentuk penyelesaian antara pelaku dan korban atau keluarganya dapat diterima oleh masyarakat. Walaupun masyarakat tidak terkena secara langsung tindak pidana, namun pada dasarnya suatu tindak pidana merupakan peristiwa yang meresahkan masyarakat. Hal ini berkaitan pula dengan tujuan restorative justice. Jika masyarakat menerimanya maka pelaku pun dapat diterima kembali. Apabila keempatnya telah terpenuhi maka tidak seharusnya aparat penegak hukum yang menangani membuat keputusan yang bersifat kaku. Misalnya saja apabila perkara sudah terlanjur dilimpahkan ke pengadilan, tidak harus menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku, vonis hendaknya mempertimbangkan perdamaian yang telah dibuat antara pelaku dan korban atau keluarganya.
Penulis berpendapat bahwa pihak yang dirugikan atas suatu tindak pidana harus diberikan kewenangan untuk menyelesaikan tindak pidana yang menimpanya. Kewenangan di sini terbatas pada niatan untuk menyelesaikan perkara secara cepat melalui jalan damai. Jadi, sini ada dua pilihan bagi korban. Pertama, apabila pihak korban mempunyai niatan untuk berdamai dan memaafkan pelaku, maka restorative justice diterapkan serta korban dapat berperan secara aktif. Kedua, apabila tidak ada niatan damai dari korban atau kekuarganya, maka perkara pidana tersebut menjadi wewenang penuh aparat penegak hukum dengan tetap memperhatikan kerugian yang diderita korban. Dengan demikian keseimbangan antara pelaku dan korban dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat. Penegakan hukum tidak harus kaku, tujuan hukum tidak terlapas dari keadilan sehingga bila keadilan telah terwujud tidak perlu diperpanjang lagi dengan proses peradilan pidana. Pemberian maaf dan atau ganti kerugian terbukti telah dapat mewujudkan keseimbangan, walaupun dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur. Dalam hukum Islam, pemberian maaf justru berada dalam rangkaian penyelesaian perkara pidana berupa kejahatan terhadap jiwa manusia. Hal ini dikarenakan masalah kejahatan terhadap jiwa manusia selain menyangkut masalah publik juga mengandung adanya masalah perdata. Adanya unsur keperdataan ini membawa konsekuensi bahwa pengenaan hukumannya diserahkan kepada ahli waris (keluarga korban). Dengan demikian terhadap kejahatan terhadap jiwa manusia, keluarga korban dapat memilih bentuk hukuman apakah dengan qisas ataukah diyat, yakni mengganti kerugian kepada keluarga korban, atau famili memaafkan dengan tidak menuntut balas terhadap pelaku tindak pidana. Bentuk penanganan seperti inilah yang menjadikan penyelesaian perkara pidana menjadi fleksibel.Keterlibatan pihak korban diperlukan karena dari sinilah dapat diketahui bentuk keseimbangan. Cara penyelesaian seperti ini sangat baik untuk dikembangkan agar penanganan perkara pidana tidak berjalan kaku.




BAB III
PENUTUP

A.   Simpulan
Penyelesaian perkara pidana merupakan masalah penting yang dihadapai masyarakat. Tidak ada satu orang pun ingin berhadapan dengan hukum, oleh karena itu masyarakat membutuhkan penanganan yang cepat untuk menghadapai perkara pidana secara adil dan seimbang. Pendekatan restorative justice di Indonesia sejauh ini dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana untuk mencapai keadilan. Keadilan yang dimaksud merupakan keseimbangan antara pelaku dan korban atau keluarganya. Hasil akhir dari restorative justice yang diterapkan terbukti mampu mengembalikan harmonisasi sosial sebagaimana sebelum tindak pidana terjadi.
Pelaksanaan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana mampu menjamin rasa keadilan dalam masyarakat, karena pelaku dan korban sama-sama aktif dalam menyelesaikan masalahnya. Dengan demikian hasil kesepakatan antara pihak pelaku dan korban tindak pidana merupakan murni kehendak yang seimbang masing-masing pihak. Restorative justice tidak harus meninggalkan hukum positif, namun mampu membuat pelaksanaan hukum positif itu berjalan lebih fleksibel (tidak kaku).

B.   Saran
Menyelesaikan perkara pidana secara cepat dan efektif merupakan harapan bagi masyarakat. Kesadaran budaya berhukum berdasar nilai-nilai Pancasila harus dikembangkan baik itu oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum. Masyarakat harus sadar bahwa hukum pidana adalah ultimum remidium, sedangkan aparat penegak hukum mengutamakan keadilan dalam penanganan perkara pidana, agar tidak bersifat kaku. Oleh karena itu penulis menyarankan agar dalam penanganan perkara pidana masing-masing aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) mempunyai standar operasional, ini akan menjadi pedoman bilamana dimungkinkan dapat diselesaikan dengan restorative justice. Misalnya saja apabila telah dicapai perdamaian antara pelaku dan korban dan keluarganya maka perkara dihentikan. Namun, apabila telah dilimpahkan ke pengadilan, adanya perdamaian menjadikan dasar pertimbangan hakim untuk meringankan vonis terhadap terdakwa. Masing-masing aparat penegak hukum harus aktif falam mengusahakan restorative justice dalam perkara apapun. Dengan demikian pelaksanaan hukum acara pidana tidak bersifat kaku.



Daftar Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar