BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang seiring dengan
makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai permasalahan tersebut
membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum
terjadinya tindak pidana. Akan tetapi pemahaman masyarakat di Indonesia
mengidentikkan penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat penegaknya antara
lain, polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan bagian dari sistem peradilan
pidana. Penyelesaian perkara pidana oleh masyarakat ditempuh melalui sistem
peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama dilakukan adalah
membuat laporan polisi. Penyelesaian seperti ini diharapkan memberi efek jera
pada pelaku tindak pidana. Melalui laporan polisi ini korban berharap ada
keadilan di mana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir dari sistem
peradilan tersebut seringkali belum tentu
menjamin rasa keadilan dalam masyarakat. Berat ringannya vonis yang
dijatuhkan hakim terhadap terdakwa belum mewujudkan keseimbangan dan
mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat.
Penegakan hukum sangatlah erat dengan masyarakat, sebagaimana teori yang
dikemukakan oleh Carl von Savigny, di mana menurutnya “Das recht wird nicht
gemacht, est ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Namun, ternyata Hukum modern yang
dipakai oleh bangsa Indonesia dikembangkan tidak dari dalam masyarakat
Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside). Hukum
modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat, khususnya Eropa. Maka
sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran hukum modern adalah cerita tentang
sejarah sosial Eropa. Hukum modern memiliki tipe Liberal. Dalam tipe liberal,
tidak hanya hukum substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur
menjadi penting dan memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk
menjaga dan mengamankan kebebasan individu. Pemikiran tentang hukum yang
kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dipisahkan dari kehadiran negara
modern. Positivisme inilah yang selama ini
tertanam di benak kebanyakan para sarjana hukum di Indonesia. Akibatnya sangat mempengaruhi
pola berpikir penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yaitu harus sesuai
pada hukum positif yang ada.
Menurut Satjipto Raharjo, penyelesaian perkara melalui sistem peradilan
yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum ke arah
jalur lambat. Hal ini karena penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang
panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari kepolisian, kejaksaan,
pengadilan negeri, pengadilan tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Pada
akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di
pengadilan. Hukum
pidana adalah ultimum remidium yang
berarti suatu upaya terakhir yang ditempuh bilamana tidak ada upaya lain untuk
menyelesaikan perkara. Namun, pada perkembangannya hukum pidana justru
digunakan sebagai upaya pertama dalam menyelesaikan suatu masalah antara orang
yang satu dengan yang lain. Bahkan ada suatu perkara yang sebenarnya termasuk
dalam ranah perdata dipaksanakan menjadi pidana. Pergeseran fungsi hukum pidana
ini menunjukkan bahwa masyarakat telah meninggalkan sedikit demi sedikit budaya
berhukum. Padahal dalam
suatu masyarakat masih mempunyai hukum adat yang berfungsi lebih efektif dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang diterbitksan oleh
PBB disebutkan bahwa : “Restorative
justice is an approach to problem solving that, in its various forms, involves
the victim, the offender, their social networks, justice agencies and the
community. Hubungan
dengan penegakan hukum pidana, maka restorative
justice merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan masalah pidana yang
melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat demi terciptanya
suatu keadilan.
Menurut Bagir Manan, substansi restorative
justice mengandung prinsip yang dapat membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak
pidana. Selain itu juga menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders”
yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang
dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions). Prinsip restorative
justice menurut Bagir Manan ini sangat memungkinkan peran serta masyarakat
dalam menentukan hukum yang seimbang dan adil.
Konsep restorative justice pada dasarnya sejalan dengan
teori hukum progresif yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo. Menurut Satjipto
Rahardjo inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak
progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada
akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan manusia.
Oleh karena itu cara penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada
teks undang-undang. Tujuan yang henadak dicapai dalam penyelesaian tersebut
ialah kembalinya harmonisasi sosial yang seimbang antara pelaku, korban dan
masyarakat. Keadilan dalam
restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya
memulihkan/mengembalikan kerugian atau
akibat yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, dan
pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya
pemulihan tersebut, semua
itu dalam rangka memelihara
ketertiban masyarakat dan memelihara perdamaian yang adil. Dengan kata
lain ketiga prinsip tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut : pertama, justice requires that we work to
restore those who have been injured; kedua, those most directly involved and
affecttted by crime should have the.
Restorative
justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam
keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan
unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai
sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak
kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas
secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan
nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan
pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan
sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang
kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi
dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki
luka-luka mereka. Selain itu
restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang
paling terkena pengaruh korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka dan
memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice
juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak
dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk
mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan
formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative
justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan
pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
Melalui restorative justice tidak semua perkara
pidana harus selesai di meja hijau, namun dapat diakhiri antara sendiri antara
pelaku dan korban. Cara penyelesaian yang ditempuh melalui restorative justice
sesuai dengan budaya dan ideologi bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan
dalam Pancasila. Hasil penyelesaian dapat dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Penyelesaian memperhatikan nilai kemanusiaan yang adil dan beradap
bagi kedua belah pihak, dan tentunya dapat tercipta kembali kondisi sosial
sebagaimana sebelum terjadi tindak pidana.
B.
Permasalahan
Penyelesaian melalui restorative justice ke depannya akan
menuju kepada penyelesaian secara fleksibel tanpa harus terpaku pada undang-undang
dan penegak hukum. Akan tetapi harus dilihat terlebih dahulu bagaimana selama restorative justice telah diterapkan di
Indonesia. Oleh karena itu permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini
antara lain : Pertama, sejauh
mana restorative justice dapat
diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk mencapai keadilan ? Kedua, Bagaimana
mewujudkan keseimbangan antara pelaku dan korban tindak pidana guna menuju cara
berhukum yang fleksibel.
BAB
II
Pembahasan
A.
Restorative
Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia
Bangsa Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law),
biasanya cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan
hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama
banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bahkan,
masyarakat pun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang
lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang
beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu
setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak
dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran
pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum
(equality before the law). Seharusnya memahami hukum secara komprehensif
sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan
gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga
tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja. Salah satu dari
pengaruh tradisi hukum eropa continental tersebut di antaranya penegakan
hukum di Indonesia cenderung normatif, atau sesuai dengan peraturan tertulis.
Kecenderungan seperti ini sering disebut sebagai positivisme di mana penegakan
hukum harus berdasarkan pada hukum positif. Penegakan hukum berdasarkan hukum
positif ini berhubungan erat asas legalitas. Artinya Tiada suatu perbuatan
dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang
yang telah diadakan lebih dulu. Lalu bagaimana jika suatu perbuatan itu belum
ada peraturan yang melarangnya, padahal jelas-jelas itu mendatangkan kerugian
bagi orang lain, atau perbuatan itu dalam etika bermasyarakat tidak bisa
diterima, tentu orang yang melakukanya bisa mengatakan bahwa tidak ada
Undang-Undang yang melarang perbuatan saya ini. Penegakan hukum tentunya tidak
bisa lepas dari para penegak hukum, seperti Polisi, jaksa, hakim, advokat. Lalu
bisakah dibayangkan bila semua penegak hukum itu berpedoman pada hukum positif.
Menjadi pertanyaan memang, tentang bagaimana seharusnya cara berhukum itu,
menegakkan keadilannya atau hukumnya, dicari peraturannya dulu atau diutamakan
hati nurani. Selama ini memang para penegak hukum di Indonesia masih terikat
pada paham positivistik, baik dalam hukum formil maupun materiilnya. Dari sini
tugas yang terberat adalah di pundak seorang hakim, karena apapun perkara di
hadapannya harus diputus, baik itu ada aturannya atau tidak. Dalam kondisi
seperti ini menjadi pertanyaan bolehkah aparat penegak hukum membuat hukum
sendiri demi mencapai keadilan.
Penulis mengambil contoh dengan melakukan penelitian terhadap tindak pidana
percobaan pencurian dengan pemberatan di wilayah hukum Polsek Jaten,
Karanganyar, Jawa Tengah. Tindak pidana ini dilakukan oleh dua orang yang masih
berstatus sebagai pelajar, yaitu Luthfi Widayanto (18 tahun) dan Cahyo
Wijanarko (15 tahun) pada tanggal 22 Maret 2013. Barang yang akan dicuri oleh
pelaku berupa dagangan korban yang bernilai sekitar Rp 500.000,- (lima ratus
ribu rupiah). Korban yang merasa dirugikan akhirnya melaporkan kedua pelaku ke
Polsek Jaten Karangnyar sebagaimana dalam Laporan Polisi No.Pol :
LP/12/III/2013/Sek. Jaten. Pelaku oleh penyidik dikenakan Pasal 53 KUHP
dan/atau Pasal 363 ayat (11) ke 3e,4e,5e KUHP dan ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu penyidik juga melakukan penahanan terhadap kedua tersangka.
Pihak keluarga, dalam hal ini orang tuanya setelah mengetahui Tersangka
ditahan kemudian berusaha menemui korban dan mengusahakan agar tindak pidana
tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Polsek Jaten pun menganjurkan
demikian, namun selama belum tercapai perdamaian antara keluarga tersangka dan
korban maka Polsek akan tetap menahan kedua Tersangka. Pihak korban pada
awalnya sudah tidak keberatan untuk menyelesaikan secara musyawarah, namun agar
hasil perdamaian ini bisa diterima oleh masyarakat di sekitar korban, maka akan
dilakukan musyawarah secara kekeluargaan dengan melibatkan tokoh masyarakat.
Penanganan perkara pidana dalam kasus ini sangat memperhatikan kepentingan
korban dan pelaku tindak pidana. Selain itu penyelesaian dilakukan dengan
melibatkan masyarakat tempat terjadinya tindak pidana. Adanya peran dari
masyarakat di sini menunjukkan bahwa hasil penyelesaian perkara pidana harus
dapat dipertanggungjawabkan dan diterima masyarakat. Penyelesaian ini sejalan
dengan restorative justice. Menurut
penulis dalam perkara serupa restorative
justice dapat ditempuh untuk menyelesaikan tindak pidana.
Contoh lain penerapan
restorative justice dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia pernah dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana
dalam putusan perkara pidana Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009.
Perkara ini bermula dari pengaduan korban bernama Erniwati tentang tindak
pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh Ismayawati. Pada
persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta pengadu mengajukan permohonan
pencabutan pengaduan kepada Majelis Hakim. Adapun alasan pencabutan tersebut
dikarenakan sebagai berikut:
a)
terdakwa
merupakan menantu dari pengadu
b)
terdakwa
mempunyai dua orang anak yang masih kecil
c)
pengadu
telah memaafkan terdakwa
d)
pengadu
telah mengikhlaskan kerugian yang ia derita
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Yogyakarta akhirnya membacakan putusan yang amarnya menyatakan tuntutan dalam perkara
ini tidak dapat diterima. Namun, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Yogyakarta dengan pertimbangan pencabutan tersebut sudah melewati batas waktu
yang ditentukan dalam KUHP. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan yang sangat memperhatikan prinsip keadilan restoratif. Mahkamah
Agung dengan tegas menilai bahwa Pengadilan Tinggi Yogyakarta bersifat kaku dan
terlalu formalistik oleh karena itu harus dibatalkan. Di Indonesia sangatlah
jarang ditemui pertimbangan hukum seperti ini. Pertimbangan hukum biasanya
hanya dilihat dari aspek normatifnya saja. Dalam perkara ini Mahkamah Agung
menegaskan bahwa tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang
terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun ini adalah perkara pidana, namun perdamaian
yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang
harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya
lebih besar dari pada bila dilanjutkan. Ajaran
keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan
harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan
kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunya, bahkan
mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih induvidu di dalam hubungan
kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang
memuaskan untuk para pihak yang berselisih.
Mahkamah Agung sebelumnya juga pernah
mengeluarkan putusan yang mempertimbangkan restorative
justice dalam perkara tindak pidana pembunuhan Nomor : 107 PK/Pid/2006
tanggal 21 November 2007 atas nama Terdakwa Adiguna Sutowo. Orang tua korban
telah membuat surat pernyataan yang intinya telah memaafkan terdakwa namun oleh
judex factie tidak dipertimbangkan.
Perdamaian ini menurut Mahkamah Agung seharusnya dapat di jadikan alasan untuk
pertimbangan yang lebih meringankan pidana yang dijatuhkan khususnya yang
berkaitan dengan dakwaan primair, apabila judex
facti /judex iuris telah mengetahui adanya putusan yang bersifat memenuhi
keadilan sosiologis (restorative justice) tersebut pada waktu persidangan
berlangsung. Dalam putusan Nomor 107 PK/Pid/2006 ini Mahkamah Agung
mendefinisikan bahwa restoratif justice
adalah suatu proses melalui mana para pelaku kejahatan yang menyesal menerima
tanggung jawab atas kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada
masyarakat yang sebagai balasannya, mengizinkan bergabungnya kembali pelaku
kejahatan yang bersangkutan ke dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan di sini
lebih bersifat edukatif dan korektif dengan tetap memperhatikan tujuan
pemidanaan yang bersifat preventif. atas dasar itulah Mahkamah Agung
meringankan vonis terhadap terdakwa dari tujuh tahun menjadi empat tahun
penjara.
Pada dasarnya setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan
kerugian bagi orang lain maka mewajibkan orang tersebut bertanggung jawab atas
perbuatannya. Begitu pula dalam hukum pidana, seseorang yang melakukan suatu
tindak pidana memang harus dihukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
dalam rangka penegakan hukum. Namun, harus dipahami pula aspek sosiologis dari
penegakan hukum pidana itu. Jangan sampai penegakan hukum justru malah
memperburuk harmonisasi sosial dalam masyarakat. Tujuan dari penegakan hukum
itu sendiri tidak terlepas dari terciptanya kembali disharmonisasi sosial dalam
masyarakat yang sempat hilang akibat suatu perbuatan. Apabila penyelesaian
masalah sudah terdapat jalan keluar terbaik, maka tidak perlu penegakan hukum
yang pelaksanaannya memperburuk kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang
seperti ini memang tidak tersurat dalam hukum positif. Tetapi merupakan
improvisasi hati nurani manusia dalam menegakkan keadilan.
Restorative justice
merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan
pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban
yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan
pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga
merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam merespon
suatu tindak pidana bagi penegak hukum. Penyelesaian seperti di atas sama
halnya dengan konsep yang dicantumkan PBB dalam Handbook on
Restorative Justice Programmes. Adanya peran masyarakat dalam penyelesaian perkara
menunjukkan bahwa hukum pidana ini bersifat publik, oleh karenanya publik
pun harus terlibat dan memantau pelaksanaanya. Selama ini penyelesaian perkara
pidana hanya dilakukan aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim.
Masyarakat tidak dimungkinkan untuk ikut berpartisipasi karena setelah perkara
diambil alih aparat penegak hukum di situ kewenangan diberikan oleh Negara
tanpa ada yang boleh ikut campur sedikitpun.
Dimungkinkannya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan diperkuat dengan munculnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang ini menurut
penulis merupakan reformasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini karena
terdapat penyelesaian yang lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem peradilan
formal yang selama ini diterapkan. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif. Undang-Undang ini juga memberikan kepastian hukum atas
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui diversi. Diversi
merupakan pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di
luar peradilan pidana. Diversi ini bertujuan sebagai berikut :
a)
mencapai
perdamaian antara korban dan anak
b)
menyelesaikan
perkara Anak di luar proses peradilan
c)
menghindarkan
Anak dari perampasan kemerdekaan
d)
mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi
e)
menanamkan
rasa tanggung jawab kepada Anak
Contoh-contoh kasus di atas
menunjukkan bahwa penerapan restorative
justice dalam penanganan perkara pidana di Indonesia telah dimungkinkan
pelaksanaannya. Dalam berhukum memang
seharusnya para pihak mempunyai hak dan kewenangan untuk ikut serta
penyelesaian, sehingga tidak hanya menjadi monopoli aparat penegak hukum. Namun, hambatan yang muncul seringkali
terbentur dengan tidak adanya pengaturan dalam hukum tertulis. Dasar hukum
penyelesaian perkara pidana dengan diversi
saat ini hanya terbatas pada sistem peradilan anak, sedangkan untuk
orang dewasa masih berpedoman pada KUHAP.
B.
Menuju
Cara Berhukum yang Fleksibel
Pada setiap masyarakat
terdapat sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus
selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus
berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk mampu
menjadi representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu setiap
pemerintahan harus mampu menerapkan system pengaturan masyarakat yang menganut
prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru menjalankan suatu orde yang
membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan secara tidak adil, maka bisa
dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan berlangsung lama. Tanpa
keadilan maka kemakmuran yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan
akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina
akan segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu hanya
terpusat pada segelintir orang saja.
Hasil penyelesaian perkara
pidana harus dapat mencapai keadilan bagi masing-masing pihak pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya. Hukuman yang dijatuhkan hendaknya pula
berkemanusiaan yang adil dan beradab. Keadilan ini dapat diwujudkan dalam
keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Keseimbangan yang adil akan
mampu mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum tindak pidana terjadi. Pelaku
akan lebih bertanggungjawab pada perbuatan yang ia lakukan, sehingga timbul
hati nurani untuk meminta maaf dan berusaha tidak mengulangi tindak pidana
lagi. Korban pun juga dapat merasakan keseimbangan yang adil bilamana kerugian
yang ia derita akibat tindak pidana dapat tergantikan. Dalam hukum pidana yang
diatur di KUHP, memang tidak dikenal kewajiban ganti kerugian yang dibebankan
terhadap pelaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi
korban di mana setelah perkara ditangani oleh aparat penegak hukum, maka
tertutuplah bagi korban untuk menuntut kerugiannya. KUHAP engatur kewenangan
menuntut di muka persidangan hanya ada pada jaksa yang bertindak mewakili
Negara. Memang masalah ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dapat ditempuh
secara perdata dengan mengajukan gugatan di pengadilan, namun itu memerlukan
waktu yang lama dan biaya yang besar. Oleh karena itu diperlukan penyelesaian
perkara pidana secara cepat tepat sesuai keinginan korban dan kemampuan pelaku.
Di sinilah keseimbangan yang adil dapat diwujudkan.
Gustav Radbruch menyatakan
bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Persoalan keadilan bukan
merupakan persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang
seiring dengan peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan
dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia
dan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu dalam berhukum tentunya harus selalu
dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek
sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya. Tidak seharusnya
keadilan bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu terlalu sempit bila
dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk mencapai suatu keadilan
dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan menggali keadilan itu. Maka dari
itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan terhambat oleh peraturan
tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja
bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu
menafsirkan hukum yang berkeadilan.
Pendapat Mahfud MD
menyatakan bahwa hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari belenggu
undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan
keadilan subtantif. Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum
negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia. Sebenarnya
perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi
undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari
ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis
antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong
undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai
pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap
sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. Pada irah-irah tiap putusan juga
selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa,” dan bukan “Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.” Ini
semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan
keadilan meski-jika terpaksa melanggar ketentuan formal undang-undang yang
menghambat tegaknya keadilan. Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan
karena tiadanya kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan
bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan,
keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak kasus
justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan terasa dan
terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu
bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam
membuat vonis. Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya
melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah
mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada
undang-undang. Dalam sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim
diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-undang jika undang-undang
itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan. Pendapat Mahfud MD
ini menurut penulis sejalan dengan pertimbangan hakim agung yang mengadili
perkara nomor Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007 dan Nomor 1600
K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009. Pada kedua putusan ini hakim agung
lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan restoratif dari pada kepastian hukum.
Berdasarkan contoh-contoh
kasus yang penulis kaji di atas, maka penerapan restorative justice dalam perkara pidana mempunyai persyaratan
sebagai berikut Pertama, harus
terdapat niatan atau itikad dari para pihak termasuk masyarakat. Itikad ini
muncul dari hati nurani untuk memaafkan pelaku tindak pidana. Tanpa ada niatan
dari semua pihak maka restorative justice
mustahil untuk diwujudkan. Kedua,
pelaku tindak pidana benar-benar menyesal dan berjanji tidak mengulangi
perbuatannya. Pelaku dalam hal ini harus meminta maaf kepada korban dan
keluarganya. Ketiga, bentuk
perdamaian berjalan secara seimbang yang membuat korban atau keluarganya tidak
akan menuntut lagi terhadap pelaku. Keempat,
bentuk penyelesaian antara pelaku dan korban atau keluarganya dapat diterima
oleh masyarakat. Walaupun masyarakat tidak terkena secara langsung tindak
pidana, namun pada dasarnya suatu tindak pidana merupakan peristiwa yang
meresahkan masyarakat. Hal ini berkaitan pula dengan tujuan restorative justice. Jika masyarakat
menerimanya maka pelaku pun dapat diterima kembali. Apabila keempatnya telah
terpenuhi maka tidak seharusnya aparat penegak hukum yang menangani membuat
keputusan yang bersifat kaku. Misalnya saja apabila perkara sudah terlanjur
dilimpahkan ke pengadilan, tidak harus menjatuhkan hukuman maksimal kepada
pelaku, vonis hendaknya mempertimbangkan perdamaian yang telah dibuat antara
pelaku dan korban atau keluarganya.
Penulis berpendapat bahwa
pihak yang dirugikan atas suatu tindak pidana harus diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan tindak pidana yang menimpanya. Kewenangan di sini terbatas pada
niatan untuk menyelesaikan perkara secara cepat melalui jalan damai. Jadi, sini
ada dua pilihan bagi korban. Pertama, apabila pihak korban mempunyai niatan
untuk berdamai dan memaafkan pelaku, maka restorative
justice diterapkan serta korban dapat berperan secara aktif. Kedua, apabila
tidak ada niatan damai dari korban atau kekuarganya, maka perkara pidana
tersebut menjadi wewenang penuh aparat penegak hukum dengan tetap memperhatikan
kerugian yang diderita korban. Dengan demikian keseimbangan antara pelaku dan
korban dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat. Penegakan hukum tidak harus
kaku, tujuan hukum tidak terlapas dari keadilan sehingga bila keadilan telah
terwujud tidak perlu diperpanjang lagi dengan proses peradilan pidana.
Pemberian maaf dan atau ganti kerugian terbukti telah dapat mewujudkan
keseimbangan, walaupun dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur. Dalam
hukum Islam, pemberian maaf justru berada dalam rangkaian penyelesaian perkara
pidana berupa kejahatan terhadap jiwa manusia. Hal ini dikarenakan masalah kejahatan
terhadap jiwa manusia selain menyangkut masalah publik juga mengandung adanya
masalah perdata. Adanya unsur keperdataan ini membawa konsekuensi bahwa
pengenaan hukumannya diserahkan kepada ahli waris (keluarga korban). Dengan
demikian terhadap kejahatan terhadap jiwa manusia, keluarga korban dapat
memilih bentuk hukuman apakah dengan qisas
ataukah diyat, yakni mengganti
kerugian kepada keluarga korban, atau famili memaafkan dengan tidak menuntut
balas terhadap pelaku tindak pidana. Bentuk penanganan seperti inilah yang
menjadikan penyelesaian perkara pidana menjadi fleksibel.Keterlibatan pihak
korban diperlukan karena dari sinilah dapat diketahui bentuk keseimbangan. Cara
penyelesaian seperti ini sangat baik untuk dikembangkan agar penanganan perkara
pidana tidak berjalan kaku.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Penyelesaian perkara pidana merupakan
masalah penting yang dihadapai masyarakat. Tidak ada satu orang pun ingin
berhadapan dengan hukum, oleh karena itu masyarakat membutuhkan penanganan yang
cepat untuk menghadapai perkara pidana secara adil dan seimbang. Pendekatan restorative justice di Indonesia sejauh
ini dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana untuk mencapai keadilan.
Keadilan yang dimaksud merupakan keseimbangan antara pelaku dan korban atau
keluarganya. Hasil akhir dari restorative
justice yang diterapkan terbukti mampu mengembalikan harmonisasi sosial
sebagaimana sebelum tindak pidana terjadi.
Pelaksanaan restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana mampu menjamin
rasa keadilan dalam masyarakat, karena pelaku dan korban sama-sama aktif dalam
menyelesaikan masalahnya. Dengan demikian hasil kesepakatan antara pihak pelaku
dan korban tindak pidana merupakan murni kehendak yang seimbang masing-masing
pihak. Restorative justice tidak
harus meninggalkan hukum positif, namun mampu membuat pelaksanaan hukum positif
itu berjalan lebih fleksibel (tidak kaku).
B.
Saran
Menyelesaikan perkara pidana secara
cepat dan efektif merupakan harapan bagi masyarakat. Kesadaran budaya berhukum
berdasar nilai-nilai Pancasila harus dikembangkan baik itu oleh masyarakat
maupun aparat penegak hukum. Masyarakat harus sadar bahwa hukum pidana adalah ultimum remidium, sedangkan aparat
penegak hukum mengutamakan keadilan dalam penanganan perkara pidana, agar tidak
bersifat kaku. Oleh karena itu penulis menyarankan agar dalam penanganan
perkara pidana masing-masing aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim)
mempunyai standar operasional, ini akan menjadi pedoman bilamana dimungkinkan
dapat diselesaikan dengan restorative
justice. Misalnya saja apabila telah dicapai perdamaian antara pelaku dan
korban dan keluarganya maka perkara dihentikan. Namun, apabila telah
dilimpahkan ke pengadilan, adanya perdamaian menjadikan dasar pertimbangan
hakim untuk meringankan vonis terhadap terdakwa. Masing-masing aparat penegak
hukum harus aktif falam mengusahakan restorative
justice dalam perkara apapun. Dengan demikian pelaksanaan hukum acara
pidana tidak bersifat kaku.
Daftar
Pustaka