BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dunia bisnis saat ini telah berkembang
tanpa batas sehingga mampu menerobos berbagai dimensi kehidupan dan perilaku
perekonomian.
Sejak dahulu setiap masyarakat
mengenal apa yang disebut dengan perikatan, baik yang lahir karena
Undang-Undang maupun karena suatu perjanjian. Dengan terikatnya para pihak
dalam suatu perjanjian maka pihak harus melaksanakannya karena setiap
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti Undang-Undang bagi mereka
yang membuatnya. Akan
tetapi kadang kala dalam pelaksanaannya mungkin saja mengalami
hambatan-hambatan yang pada akhirnya mempengaruhi tujuan dari perjanjian yang
mereka perbuat, bahkan lebih berat lagi dapat menimbulkan perselisihan atau
sengketa akibat tidak dilaksanakannya perjanjian itu oleh salah satu pihak.
Bentuk sengketa beranekaragam dan
keanekaragamannya menentukan inti permasalahan, setiap permasalahan memiliki
sekian banyak liku-liku akan tetapi pada akhirnya intinya akan muncul ke
permukaan. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat
menguasai emosi para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang
kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Oleh karena
itu akan paling efektif kalau dapat diselesaikan dengan putusan yang final dan
mengikat melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS), baik melalui
bentuk-bentuk aps tertentu maupun arbitrase. Dengan demikian, sengketa tersebut
dapat diputus, atau setidak-tidaknya diklarifikasi dengan mempersempit
persoalannya melalui mekanisme aps yang tepat. Beberapa bentuk sengketa dapat
saja diselesaikan dengan melakukan negosiasi langsung oleh para pihak tanpa
perlu bantuan dari pihak ketiga. Lainnya menghendaki bantuan dan ketajaman
pihak ketiga yang idependen dengan tata cara atau mekanisme yang disusun secara
cermat melalui penelitian.
Hal inilah yang menarik perhatian
penulis untuk lebih mempelajari
mengenai permasalahan tersebut, maka penulis menuangkannya dalam bentuk makalah
dengan judul: “PERANAN ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS”
1.2 Identifikasi Masalah
Hal-hal yang berkaitan dengan peranan
arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis dikaji menurut undang-undang
nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian sengketa akan di bahas dalam makalah ini,
dengan pokok permasalahan :
1.
Apa
yang dimaksud dengan dengan sengketa bisnis ?
2. Bagaimana
peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis ?
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun maksud dan tujuan pembuatan
makalah ini adalah dalam rangka mengetahui lebih jauh mengenai :
1. Penulis ingin mengetahui
tentang pengertian dan ringkasan mengenai sengketa bisnis.
2. Penulis ingin mengetahui mengenai
peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
1.4 Manfaat Pembuatan Makalah
Adapun manfaat pembuatan makalah
yang di lakukan penulis, dikelompokkan kedalam dua kegunaan yang bersifat
teoritis dan praktis, yaitu :
1) Kegunaan Teoritis
a.
Dapat
menyumbangkan pemikiran yang bermanfaat tentang peranan
arbitase dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
b.
Menambah
pengetahuan dan memperluas wawasan penulis tentang arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa.
2) Kegunaan Praktis
a.
Sebagai
bahan masukan untuk para rekan yang sedang mempelajari megenai arbitrase.
b.
Dapat
menjadi bahan rujukan kepustakaan bagi civitas akademika, masyarakat dan
pemerhati lainnya.
1.5 Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan yaitu Library Research (Studi
Kepustakaan). Metode yang dilakukan dengan cara pengumpulan data-data melalui bahan
buku, karangan ilmiah, media massa, majalah ditambah dengan media elektronik
yang berhubungan dengan judul Makalah ini.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Pengertian dan Sifat Arbitrase
Arbitrase berasal dari bahasa latin yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase merupakan suatu
tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat
antara dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seorang atau beberapa
ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan
mengikat. Setelah mendengar pihak-pihak tersebut berdasarkan aturan yang biasa
diterapkan di pengadilan atau ketentuan-ketentuan lainnya yang disepakati
sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Proses arbitrase erbeda dari suatu
proses di pengadilan, dan tata caranya dapat dilakukan berdasarkan kebiasaan,
peraturan-peraturan hukum dan sistim pembuktian yang berlaku dalam proses di
pengadilan pada saat dengar pendapat oleh seorang atau lebih arbiter, akan
tetapi dengan lebih disederhanakan dan tidak menyimpang sesuai kesepakatan dan
tidak melanggar hukum.
Seorang Arbiter merupakan seorang hakim swasta bagi para
pihak dan yang dipilihnya berdasarkan kesepakatan bersama untuk menyelesaikan
sengeketa diantara mereka. Sebutan Arbiter dipakai karena mereka yang diberi
dab memiliki wewenang untuk melerai dan para pihak wajib taat pada putusan
arbitrase, putusan tersebut merupakan hasil yang final dan mengikat.
Beberapa sarjana dan peraturan perundang-undangan serta
prosedur badan arbitrase yang ada memberikan definisi arbitrase sebagai berikut
:
Subekti
meyatakan arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang
hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk
kepada atau akan mentaati keputusan para hakim yang mereka pilih.
H Priyatna Abdurrasyid
menyatakan arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang
dilakukan secara yudisial seperi yang dikehendaki para pihak yang bersengketa,
dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang ditunjukkan oleh para
pihak.
H.M.N Poewosutjipto menyatakan bahwa
perwasiatan adalah, suatau peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat
agae sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak mengikat kedua
bealah pihak.
Menurut Frank Elkoury dan Edna
Elkaury arbitrase adalah suatu proses yang mudah dan simpel yang dipilih oleh
para piahak secara suka rela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang
netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil
dalam perkara tersebut secara final dan mengikat.
Menurut Undang Undang Nomor 30 tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengkta umum pasal (1) Huruf
1, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
Menurut peraturan prosedur Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang
timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan jasa adalah serta
memberikan suatu pendapat yang mngikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai
suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian.
Berdasarkan pengertian arbitrase
diatas menunjukkan unsur-unsur yang sama yaitu, adanya kesepakatan untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa baik baik yang akan terjadi maupun
yang telah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ke-3 diluar
peradilan umum untuk diputuskan.
Penyelesain sengketa yang dapat
diselesaikan adalah sengketa yang meyengkut hak pribadi yang dapat dikuasai
sapenuhnya, khususnya dalam hal perdagangan,
industry,
dan keuangan. Putusan tersebut akan menjadi putusan akhir dan mengikat (Final
aud binding).
Adapun asas-asas
arbitrase, yaitu :
1.
Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk
menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
2.
Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan
untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak
maupun antara arbiter itu sendiri;
3.
Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam
penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada
perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak;
4.
Asas final
and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan
mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding
atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam
klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas
tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan
dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan
mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil. Tanpa adanya
formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat
penyelisihan perselisihan.
Selain itu pengertian
arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999: “Lembaga Arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum
timbul sengketa”.
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30
tahun 1999 disebutkan bahwa: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum
makalahadedidiikirawandan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak
dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase
hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha,
arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri,
final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap)
sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
Sengketa Bisnis
Pengertian sengketa bisnis menurut
Maxwell J. Fulton “a commercial disputes is one which arises during the course
of the exchange or transaction process is central to market economy”. Dalam
kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi
terhadap satu objek permasalahan.
Menurut
Winardi, pertentangan atau konflik yang
terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai
hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang
menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Ali Achmad, sengketa
adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas tersebut dapat di simpulkan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan
antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum
dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan
kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama bisnis. Mengingat
kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya
sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan
berbagai alasan dan masalah yang melatarbelakanginya,
terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Sengketa
yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan
bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Adapun cara penyelesaian sengketa bisnis, yaitu :
1.
Dari sudut pandang pembuat keputusan
·
Adjudikatif : mekanisme penyelesaian yang ditandai
dimana kewenangan pengambilan keputusan pengambilan dilakukan oleh pihak ketiga
dalam sengketa diantara para pihak.
·
Konsensual / Kompromi : cara penyelesaian sengketa
secara kooperatif / kompromi untuk mencapai penyelesaian yang bersifat win-win
solution.
·
Quasi Adjudikatif : merupakan kombinasi antara unsur
konsensual dan adjudikatif.
2.
Dari sudut pandang prosesnya
·
Litigasi : merupakan mekanisme penyelesaian sengketa
melalui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum. Lembaga
penyelesaiannya :
1. Pengadilan
Umum
2. Pengadilan
Niaga.
·
Non Litigasi
: merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak
menggunakan pendekatan hukum formal. Lembaga penyelesaiannya melalui
mekanisme :
1. Arbitrase :
merupakan cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasrkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999).
2. Negosiasi :
sebuah interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan untuk mendapatkan solusi
dari yang dipertentangkan.
3. Mediasi :
Negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Dalam mediasi yang memainkan peran utama
adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai
pendamping,pemangkin dan penasihat.
4. Konsiliasi :
Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai
persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut.
5. Konsultasi
6. Penilaian
Ahli
3.2 Dasar Hukum
Arbitrase
Adanya
perjanjian arbitrase berarti bahwa para pihak dalam suatu sengketa itu
bermaksud untuk menyelesaikan sengketa itu bermaksud untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 juga menggunakan
istilah “perjanjian arbitrase” dan istilah ini menjadi dasar dan mempunyai
sanksi hukum. Undang-undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 merumuskan suatu
perjanjian arbitrase sebagai perjanjian tertulis untuk menyerahkan sengketa
atau perbedaan yang timbul sekarang maupun yang akan datang kepada kepada
arbitrase, apakah seorang arbiter ditunjuk di dalamnya atau tidak. Jadi syarat
utama sah tidaknya perjanjian arbitrase ialah apabila hal itu dilakukan dalam
rangka penerapan undang-undang, serta perjanjian itu harus tertulis, perjanjian
tersebut harus ditandatangani para pihak yang bersangkutan. Bentuk perjanjian
apapun dianggap memadai, asalkan memenuhi syarat utamanya, yaitu ada perjanjian
(tertulis) arbitrase, timbal balik menghormati kontrak, dan harus ada pengertian
dan tenggang rasa terhadap perjanjian. Tetapi apabila tidak ada suatu
perjanjian tertulis, para pihak akan menemui kesulitan. Pada perjanjian lisan,
para pihak perlu mendapatkan bantuan dari lembaga arbitrase seperti Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Untuk melakukan proses hukum para pihak
dapat saja mengajukan kepada BANI misalnya untuk menunjuk seorang abiter atau
lebih. Kelemahan lainnya ialah bilamana tidak ada catatan sengketa apa saja
yang dapat diselesaikan. Oleh karena itu perjanjian arbitrase harus berada
dalam cakupan ketentuan Undang-undang yang tidak saja harus tertulis tetapi
juga ditandatangani oleh pihak yang akan dituntut oleh pihak lainnya yang
diberi hak untuk itu.
Objek
undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 lebih banyak memegang kendali atas arbitrase,
sementara dalam proses dan kendali ini dapat dilakukan oleh lembaga arbitrase
seperti BANI. Tanpa adanya kemampuan pada arbiter, kesulitan akan tampak pada
saat membatalkan perjanjian, namun pihak uang dirugikan selama proses tersebut
berlangsug dapat mengajukan keberatan yang mungkin dapat digunakan sebagai
pandangan hukum yang harus diperhitungkan oleh oleh arbiter. Namun demikian
arbitrase hanya dapat di intervensi atau di interupsi demi untuk menjernihkan
pandangan hukum dan selanjutnya proses arbitrse dapat dilakukan sampai arbiter
tiba pada kesimpulannya.
Pengaturan
Mengenai Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang
Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat
berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
a)
Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum
de compromitendo); atau
3.3 Peranan
Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis.
Mengamati kegiatan bisnis yang
jumlah transaksinya ratusan setiap hari tidak mungkin dihindari terjadinya
sengketa antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu
menutut pemecahan dan penyelsaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan
perdagangan frekuensi terjadi sengketa makin tinggi. Hal ini berarti makin banyak sengketa yang harus
diselsaikan.
Membiarkan sengketa dagang terlambat
diselsaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efisien,
produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi
meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan, disamping itu
peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga
terhambat
Apabila akhirnya
hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa di antara para pihak yang
terlibat, peranan penasihat hukum dalam menyelsaikan sengketa itu dihadapkan
pada alternative.
Secara konvensional, penyelsaian
sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelsaian sengketa dimuka
pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat
antagonistis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelsaian sengketa bisnis
model ini tidak direkomendasikan. Apabila akhirnya
ditempuh, penyelesaian itu semata-matasebagai jalan terakhir (ultimatum
remedium) setelah alternatif lain diniali tidak membuahkan hasil. Proses
penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan
atau para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara penyelsaian
seperti itu tidak diterima dunia binis melalui lembaga peradilan tidak selalu
menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan itu perlu dicari
dan dipikirkan cara dan sistem penyelsaian sengketa yang cepat, efektif dan
efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu sistem penyelesaian
sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan
perdagangan di masa datang. Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan harus ada
lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem
menyelsaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.
Di samping model penyelesaian
sengketa konvensional secara konvensional melalui litigasi sistem peradilan,
dalam praktik di Indonesia dikenalkan pula model yang relatif baru. Model ini
cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa yang dikenal dengan nama ADR (alternative
dispute resolution) yang diantaranya meliputi negoisasi, mediasi dan
arbitrase. Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa
secara non-litigasi tidak menutup peluang penyelesaian masalah perkara
tersebut secara litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap
dipergunakan manakala penyelesaian secara nonlitigasi tersebut tidak membuahkan
hasil. Jadi penggunaan ADR adalah sebagai salah satu mekanisme
penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan mepertimbangkan segala bentuk
efesiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan
bagi para pihak yang bersengketa.
3.4 Pelaksanaan
Arbitrase
a)
Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional
diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan
pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan
pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan
autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera
pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase
diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan
mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan
hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari
putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan
arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan,
Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan
pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap
penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
b)
Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan
arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa
1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut
menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10
Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New
York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus
1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New
York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam
prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan
arbitrase asing.
3.5 Analisis Kasus
a. Temasek Bisa
Bawa Kasus Kepemilikan Silang ke Arbitrase Internasional
Jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) memutuskan Temasek terbukti melakukan praktek kepemilikan silang di
Telkomsel dan Indosat, makakemungkinan besar Temasek membawa kasus tersebut ke
arbitrase internasional, Temasek membeli Indosat, perusahaan asal Singapura
tersebut sudah mempersiapkan segalanya, termasuk semua perjanjian agar
investasinya di Indonesia aman.
Oleh
sebab itu, katanya, jika perusahaan tersebut dianggap melakukan kepemilikan
silang maka tentu akan membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional.
Jika Indonesia dikalahkan di arbitrase internasional maka Indonesia bisa
dikenakan denda yang sangat besar, KPPU menduga adanya pelanggaran yang
dilakukan Temasek terhadap Pasal 27 UU Nomor 5 Tahun 1999, yakni terkait adanya
kepemilikan silang (cross ownership) yang dilakukan Temasek di Telkomsel dan PT.Indosat Tbk.
Temasek
dilaporkan melalui dua anak
perusahaannya
yakni Singapore Telecommunications Ltd (SingTel) dan Singapore Technologies
Telemedia Pte. Ltd. (STT) memiliki saham di dua perusahaan telekomunikasi di
Indonesia itu. Namun beberapa pihak mengatakan bahwa hal tersebut tidak
terjadi. Bila nantinya Temasek terbukti melakukan kepemilikan silang dan
melanggar UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka adatiga sanksi yang bisa diberikan yaitu
pertama menghentikan perilaku kartel/anti persaingan dengan melepas salah
satu kepemilikannya di Indosat atau Telkomsel,kedua dikenakan denda berkisar
Rp1 Miliar sampai Rp25 Miliar dan ketiga pembayaran ganti rugi kepada
negara.
Kepemilikan
silang Temasek Holding pada Indosat dan Telkomsel diduga membuat dua operator
ponsel di Indonesia itu masih memberikan tarif tinggi dibandingkan dengan
operator lain, yang membawa dampak merugikan bagi konsumen. Diberitakan, kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan
KPPU terhadap kasus tersebut tidak bulat karena salah satu anggotanya Benny
Pasaribu mempunyai pandangan yang berbeda dengan empat anggota lainnya.
Benny
selanjutnya tidak masuk dalam Majelis Komisi untuk mengatakan haltersebut bisa
menimbulkan pertanyaan. Ini merupakan hal yang biasa jika seseorang mempunyai
pendapat yang berbeda.
Sementara
itu Senior Vice President Internasional Operation STT, Jaffa Sany, pernah
mengatakan bahwa STT akan melakukan upaya banding apabila KPPU menyatakan STT
terbukti mempunyai kepemilikan silang.
Jaffa
mengatakan banding tersebut dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri hak STT
terhadap saham yang dimilikinya di Indosat. "Pembelaan itu akan dilakukan
secara bertahap nantinya,
Ini apabila
memang STT dinyatakan bersalah oleh KPPU," kata Jaffa.
Sedangkan
Senior Vice President Strategic Relations Corporate Communications STT, Kuan
Kwee Jee mengatakan Temasek Holding, STT dan SingTel merupakan perusahaan yang
berbeda terbukti dari Dewan Direksi yang terpisah, tidak adanya manajemen
sentral dari induk perusahaan dan tidak ada rencan akegiatan ekonomi sentral.
"Sehingga kami tidak melanggar Undang-undang Persaingan Usaha (dalam
kepemlikan saham di Telkomsel dan Indosat)," kata KweeJee.
Kwee Jee
mengatakan saham Telkomsel dimiliki oleh Telkom sebanyak 65 persen
sehingga Telkom mengontrol Telkomsel, sementara Temasek tidak bisa mengontrol
Telkomsel. Sementara pada Indosat, kata Kwee Jee, 40 persen sahamnya dimiliki
oleh STT bersama dengan Qatar Telecom, dan 14 persen sahamnya lainnya dimiliki
oleh pemerintah Indonesia dan Golder share, serta 46 persen saham sisanya
merupakan saham bebas.
Setelah
vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada Temasek dan
Telkomsel, kini perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999 Yang
Berkaitan Dengan Kepemilikan Silang Yang Dilakukan Oleh Temasek dan
Praktek Monopoli Telkomsel kini sedang diuji di tingkat banding keberatan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan.
Pemeriksaan
perkara ini akan sedikit rumit. Karena pihak Telkomsel mendaftarkan keberatan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara pihak Temasek Cs mendaftarkan
keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka sesuai dengan Pasal 4
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005, Mahkamah Agung akan menunjuk salah
satu Pengadilan Negeri tersebut untuk memeriksa keberatan Temasek maupun
Telkomsel.
Sejak
awal perkara dugaan monopoli Temasek dan Telkomsel sudah
menarik perhatian. Banyak investor bersikap wait and see terhadap
perkara ini. Mereka menunggu apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan dalam
perkara ini.
Keberadaan
UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat diIndonesia adalah hal yang wajar dan berlaku pula
di banyak Negara lain, namun penerapan hukum anti monopoli dan anti
persaingan usaha tidak sehat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam
perkara ini masih cukup membingungkan. Sulit untuk dimengerti bagaimana KPPU
baru memutuskan perkara ini setelah lebih satu tahun sejak perkara ini
dilaporkan pada tanggal 18 Oktober 2006. Padahal jika dihitung berdasarkan
Pasal-pasal dalam UU No 5 Tahun 1999, jangka waktuKPPU untuk membuat keputusan
tak lebih dari 160 hari. Pembatasan waktu 160 hari oleh Undang-undang ini
bertujuan menjaga adanya kepastian hukum dan tidak dipergunakannya hukum
tanpa due process of law.
b. Kasus
Gresik-Cemex ke Arbitrase Internasional
Dalam
klausul perjanjian antara Cemex dan Semen Gresik memang disebutkan jika terjadi
permasalahan, maka akan membawa ke arbitrase internasional. Namun, ada
baiknya Semen Gresik maupun Semen Padang melihat permasalahan iniuntuk kepentingan
yang lebih besar lagi. Bapepam saat ini tengah menunggu penjelasan dari
manajemen Semen Gresik atas kasus ini. Tapi, hingga kini penjelasan itu belum
ada.
"Urusan
antar pemegang saham biasanya tidak akan mengganggu kinerja emiten yang
bersangkutan. Biasanya Dispute antar pemegang saham mestinya
tidak mengganggu kinerja," ungkapnya. Mengenai laporan keuangan Semen
Gresik, dapat diselesaikan tepat waktu seperti yang sudah diputuskan.
Seperti
diberitakan, kasus Cemex-Semen Gresik muncul akibat berlarut-larutnya
penyelesaian laporan keuangan Semen Gresik karena belum selesainya laporan
keuangan Semen Padang. Cemex sebelum mengajukan kasus ini ke arbitrase telah
menawarkan sejumlah alternatif penyelesaian. Diantaranya Cemex akanmembeli
saham pemerintah di Semen Gresik hingga menjadi mayoritas, atau sebaliknya
pemerintah membeli saham Cemex di Semen Gresik.
Menteri
Negara BUMN saat itu Laksamana
Sukardi, di tempat yang sama mengatakan pemerintah saat ini tidak memiliki
dana untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan Cemex di Semen Gresik
sebesar 400 juta dolar AS hingga 500 juta dolar AS. Kita tidak punya dana dan juga APBN kita kan
defisit, itu sudah tidak
perlu dipertanyakan lagi. Untuk mengatasi
permasalahan di Semen Gresik, kemungkinan pemerintah akan menjual saham milik
Cemex kepada pihak ketiga.
Ia optimis
industri semen masih memiliki prospek sangat baik. Namun, hal itu tergantung
pembangunan fisik di Indonesia. "Kalau tumbuh terus pembangunan fisiknya,
infrastruktur dan konstruksi, saya kira permintaan terhadap perusahaan semen
sangat baik. Tidak semata-mata pemerintah yang harus beli. Pemerintah bisa
menjembatani pada pihak ketiga."
Namun
ketika disinggung pihak mana yang sudah menyatakan minatnya untuk membeli
saham milik Cemex, dia mengaku belum bisa menyebutkan dengan alasan masih
rahasia. Soalnya, saat ini masih terus melakukan pembicaraan dengan Cemex untuk
mencari solusi terbaik.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan mengenai pokok bahasan
sebagaimana tercantum dalam bab – bab sebelumnya, maka dalam bab IV ini penulis mencoba untuk menarik
kesimpulan dan saran – saran yang sekiranya dapat bermanfaat bagi penulis
khusunya dan pembaca makalah ini.
- Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
- Undang-undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 merumuskan suatu perjanjian arbitrase sebagai perjanjian tertulis untuk menyerahkan sengketa atau perbedaan yang timbul sekarang maupun yang akan datang kepada kepada arbitrase.
- Peranan arbitase dalam menyelesaikan sengketa bisnis yaitu penyelesaian dunia bisnis melalui lembaga arbitrase menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa dan memiliki kemampuan sistem menyelsaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.
4.2 Saran
Diharapakan
para pihak dalam menghasilkan suatu keputusan yang benar-benar sesuai dengan
prosedur dan keberadaan perundang-undangan yang ada tentang alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Daftar
Pustaka
jefridayakk.blogspot.co.id/2014/02/proses-penyelesaian-sengketa-melalui.html
iqbalamaludin.blogspot.co.id/2013/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar