Scope

Scope

Senin, 21 Desember 2015

PERANAN ARBITRASI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dunia bisnis saat ini telah berkembang tanpa batas sehingga mampu menerobos berbagai dimensi kehidupan dan perilaku perekonomian. Sejak dahulu setiap masyarakat mengenal apa yang disebut dengan perikatan, baik yang lahir karena Undang-Undang maupun karena suatu perjanjian. Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian maka pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi kadang kala dalam pelaksanaannya mungkin saja mengalami hambatan-hambatan yang pada akhirnya mempengaruhi tujuan dari perjanjian yang mereka perbuat, bahkan lebih berat lagi dapat menimbulkan perselisihan atau sengketa akibat tidak dilaksanakannya perjanjian itu oleh salah satu pihak.
            Bentuk sengketa beranekaragam dan keanekaragamannya menentukan inti permasalahan, setiap permasalahan memiliki sekian banyak liku-liku akan tetapi pada akhirnya intinya akan muncul ke permukaan. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat menguasai emosi para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu akan paling efektif kalau dapat diselesaikan dengan putusan yang final dan mengikat melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS), baik melalui bentuk-bentuk aps tertentu maupun arbitrase. Dengan demikian, sengketa tersebut dapat diputus, atau setidak-tidaknya diklarifikasi dengan mempersempit persoalannya melalui mekanisme aps yang tepat. Beberapa bentuk sengketa dapat saja diselesaikan dengan melakukan negosiasi langsung oleh para pihak tanpa perlu bantuan dari pihak ketiga. Lainnya menghendaki bantuan dan ketajaman pihak ketiga yang idependen dengan tata cara atau mekanisme yang disusun secara cermat melalui penelitian.
            Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk lebih mempelajari mengenai permasalahan tersebut, maka penulis menuangkannya dalam bentuk makalah dengan judul: “PERANAN ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS”
1.2 Identifikasi Masalah
            Hal-hal yang berkaitan dengan peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis dikaji menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian sengketa akan di bahas dalam makalah ini, dengan pokok permasalahan :
1.      Apa yang dimaksud dengan dengan sengketa bisnis ?
2.      Bagaimana peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis ?
            1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
            Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah dalam rangka mengetahui lebih jauh mengenai :
1.      Penulis ingin mengetahui tentang pengertian dan ringkasan mengenai sengketa bisnis.
2.      Penulis ingin mengetahui mengenai peranan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
            1.4 Manfaat Pembuatan Makalah
            Adapun manfaat pembuatan makalah yang di lakukan penulis, dikelompokkan kedalam dua kegunaan yang bersifat teoritis dan praktis, yaitu :
1)  Kegunaan Teoritis
a.       Dapat menyumbangkan pemikiran yang bermanfaat tentang peranan arbitase dalam menyelesaikan sengketa bisnis.
b.      Menambah pengetahuan dan memperluas wawasan penulis tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
2)  Kegunaan Praktis
a.       Sebagai bahan masukan untuk para rekan yang sedang mempelajari megenai arbitrase.
b.      Dapat menjadi bahan rujukan kepustakaan bagi civitas akademika, masyarakat dan pemerhati lainnya.
            1.5 Metode Penelitian
            Metode Penelitian yang digunakan yaitu Library Research (Studi Kepustakaan). Metode yang dilakukan dengan cara pengumpulan data-data melalui bahan buku, karangan ilmiah, media massa, majalah ditambah dengan media elektronik yang berhubungan dengan judul Makalah ini.


BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Pengertian dan Sifat Arbitrase
Arbitrase berasal dari bahasa latin yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase merupakan suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat. Setelah mendengar pihak-pihak tersebut berdasarkan aturan yang biasa diterapkan di pengadilan atau ketentuan-ketentuan lainnya yang disepakati sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Proses arbitrase erbeda dari suatu proses di pengadilan, dan tata caranya dapat dilakukan berdasarkan kebiasaan, peraturan-peraturan hukum dan sistim pembuktian yang berlaku dalam proses di pengadilan pada saat dengar pendapat oleh seorang atau lebih arbiter, akan tetapi dengan lebih disederhanakan dan tidak menyimpang sesuai kesepakatan dan tidak melanggar hukum.
Seorang Arbiter merupakan seorang hakim swasta bagi para pihak dan yang dipilihnya berdasarkan kesepakatan bersama untuk menyelesaikan sengeketa diantara mereka. Sebutan Arbiter dipakai karena mereka yang diberi dab memiliki wewenang untuk melerai dan para pihak wajib taat pada putusan arbitrase, putusan tersebut merupakan hasil yang final dan mengikat.
Beberapa sarjana dan peraturan perundang-undangan serta prosedur badan arbitrase yang ada memberikan definisi arbitrase sebagai berikut :
Subekti meyatakan arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada atau akan mentaati keputusan para hakim yang mereka pilih.
H Priyatna Abdurrasyid menyatakan arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperi yang dikehendaki para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang ditunjukkan oleh para pihak.
            H.M.N Poewosutjipto menyatakan bahwa perwasiatan adalah, suatau peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agae sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak mengikat kedua bealah pihak.
            Menurut Frank Elkoury dan Edna Elkaury arbitrase adalah suatu proses yang mudah dan simpel yang dipilih oleh para piahak secara suka rela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut secara final dan mengikat.
            Menurut Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengkta umum pasal (1) Huruf 1, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
            Menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan jasa adalah serta memberikan suatu pendapat yang mngikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian.
            Berdasarkan pengertian arbitrase diatas menunjukkan unsur-unsur yang sama yaitu, adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa-sengketa baik baik yang akan terjadi maupun yang telah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ke-3 diluar peradilan umum untuk diputuskan.
            Penyelesain sengketa yang dapat diselesaikan adalah sengketa yang meyengkut hak pribadi yang dapat dikuasai sapenuhnya, khususnya dalam hal perdagangan, industry, dan keuangan. Putusan tersebut akan menjadi putusan akhir dan mengikat (Final aud binding).
Adapun asas-asas arbitrase, yaitu :
1.      Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
2.      Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
3.      Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
4.      Asas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil. Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Selain itu pengertian arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:  “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: ”Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum makalahadedidiikirawandan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.




BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Sengketa Bisnis
Pengertian sengketa bisnis menurut Maxwell J. Fulton “a commercial disputes is one which arises during the course of the exchange or transaction process is central to market economy”. Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Winardi, pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas tersebut dapat di simpulkan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja sama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang melatarbelakanginya, terutama karena adanya  conflict of interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.  Adapun cara penyelesaian sengketa bisnis, yaitu :
1.      Dari sudut pandang pembuat keputusan
·         Adjudikatif : mekanisme penyelesaian yang ditandai dimana kewenangan pengambilan keputusan pengambilan dilakukan oleh pihak ketiga dalam sengketa diantara para pihak.
·         Konsensual / Kompromi : cara penyelesaian sengketa secara kooperatif / kompromi untuk mencapai penyelesaian yang bersifat win-win solution.
·         Quasi Adjudikatif : merupakan kombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif.
2.      Dari sudut pandang prosesnya
·         Litigasi : merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum. Lembaga penyelesaiannya :
1.      Pengadilan Umum
2.      Pengadilan Niaga.
·         Non Litigasi : merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan tidak menggunakan pendekatan hukum formal. Lembaga  penyelesaiannya melalui mekanisme :
1.      Arbitrase : merupakan cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasrkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999).
2.      Negosiasi : sebuah interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan untuk mendapatkan solusi dari yang dipertentangkan.
3.      Mediasi : Negosiasi dengan bantuan pihak ketiga. Dalam mediasi yang memainkan peran utama adalah pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga (mediator) berperan sebagai pendamping,pemangkin dan penasihat.
4.      Konsiliasi : Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut.
5.      Konsultasi
6.      Penilaian Ahli
            3.2 Dasar Hukum Arbitrase
Adanya perjanjian arbitrase berarti bahwa para pihak dalam suatu sengketa itu bermaksud untuk menyelesaikan sengketa itu bermaksud untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 juga menggunakan istilah “perjanjian arbitrase” dan istilah ini menjadi dasar dan mempunyai sanksi hukum. Undang-undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 merumuskan suatu perjanjian arbitrase sebagai perjanjian tertulis untuk menyerahkan sengketa atau perbedaan yang timbul sekarang maupun yang akan datang kepada kepada arbitrase, apakah seorang arbiter ditunjuk di dalamnya atau tidak. Jadi syarat utama sah tidaknya perjanjian arbitrase ialah apabila hal itu dilakukan dalam rangka penerapan undang-undang, serta perjanjian itu harus tertulis, perjanjian tersebut harus ditandatangani para pihak yang bersangkutan. Bentuk perjanjian apapun dianggap memadai, asalkan memenuhi syarat utamanya, yaitu ada perjanjian (tertulis) arbitrase, timbal balik menghormati kontrak, dan harus ada pengertian dan tenggang rasa terhadap perjanjian. Tetapi apabila tidak ada suatu perjanjian tertulis, para pihak akan menemui kesulitan. Pada perjanjian lisan, para pihak perlu mendapatkan bantuan dari lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Untuk melakukan proses hukum para pihak dapat saja mengajukan kepada BANI misalnya untuk menunjuk seorang abiter atau lebih. Kelemahan lainnya ialah bilamana tidak ada catatan sengketa apa saja yang dapat diselesaikan. Oleh karena itu perjanjian arbitrase harus berada dalam cakupan ketentuan Undang-undang yang tidak saja harus tertulis tetapi juga ditandatangani oleh pihak yang akan dituntut oleh pihak lainnya yang diberi hak untuk itu.
Objek undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 lebih banyak memegang kendali atas arbitrase, sementara dalam proses dan kendali ini dapat dilakukan oleh lembaga arbitrase seperti BANI. Tanpa adanya kemampuan pada arbiter, kesulitan akan tampak pada saat membatalkan perjanjian, namun pihak uang dirugikan selama proses tersebut berlangsug dapat mengajukan keberatan yang mungkin dapat digunakan sebagai pandangan hukum yang harus diperhitungkan oleh oleh arbiter. Namun demikian arbitrase hanya dapat di intervensi atau di interupsi demi untuk menjernihkan pandangan hukum dan selanjutnya proses arbitrse dapat dilakukan sampai arbiter tiba pada kesimpulannya.
Pengaturan Mengenai Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
a)      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau
b)      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).  
3.3 Peranan Arbitrase Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis.
Mengamati kegiatan bisnis yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antar pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menutut pemecahan dan penyelsaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan frekuensi terjadi sengketa makin tinggi. Hal ini berarti makin banyak sengketa yang harus diselsaikan.
Membiarkan sengketa dagang terlambat diselsaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan, disamping itu peningkatan  kesejahteraan dan kemajuan  sosial kaum pekerja juga terhambat
Apabila akhirnya hubungan bisnis ternyata menimbulkan sengketa di antara para pihak yang terlibat, peranan penasihat hukum dalam menyelsaikan sengketa itu dihadapkan pada alternative.
Secara konvensional, penyelsaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelsaian sengketa dimuka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelsaian sengketa bisnis model ini tidak direkomendasikan. Apabila akhirnya ditempuh, penyelesaian itu semata-matasebagai jalan terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain diniali tidak membuahkan hasil. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu yang lama mengakibatkan perusahaan atau para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian. Cara penyelsaian seperti itu tidak diterima dunia binis melalui lembaga peradilan tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa.
Sehubungan dengan itu perlu dicari dan dipikirkan cara dan sistem penyelsaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien. Untuk itu harus dibina dan diwujudkan suatu sistem penyelesaian sengketa yang dapat menyesuaikan diri dengan laju perkembangan perekonomian dan perdagangan di masa datang. Dalam menghadapi liberalisasi perdagangan harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem menyelsaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.
Di samping model penyelesaian sengketa konvensional secara konvensional melalui litigasi sistem peradilan, dalam praktik di Indonesia dikenalkan pula model yang relatif baru. Model ini cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa yang dikenal dengan nama ADR (alternative dispute resolution) yang diantaranya meliputi negoisasi, mediasi dan arbitrase. Penggunaan model ADR dalam penyelesaian sengketa secara non-litigasi tidak menutup peluang penyelesaian masalah perkara tersebut secara litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap dipergunakan manakala penyelesaian secara nonlitigasi tersebut tidak membuahkan hasil. Jadi  penggunaan ADR adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan mepertimbangkan segala bentuk efesiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.
3.4 Pelaksanaan Arbitrase
a)      Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. 
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak  permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
b)     Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
3.5 Analisis Kasus
a.      Temasek Bisa Bawa Kasus Kepemilikan Silang ke Arbitrase Internasional
Jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan Temasek terbukti melakukan praktek kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat, makakemungkinan besar Temasek membawa kasus tersebut ke arbitrase internasional, Temasek membeli Indosat, perusahaan asal Singapura tersebut sudah mempersiapkan segalanya, termasuk semua perjanjian agar investasinya di Indonesia aman.
            Oleh sebab itu, katanya, jika perusahaan tersebut dianggap melakukan kepemilikan silang maka tentu akan membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Jika Indonesia dikalahkan di arbitrase internasional maka Indonesia bisa dikenakan denda yang sangat besar, KPPU menduga adanya pelanggaran yang dilakukan Temasek terhadap Pasal 27 UU Nomor 5 Tahun 1999, yakni terkait adanya kepemilikan silang (cross ownership) yang dilakukan Temasek di Telkomsel dan PT.Indosat Tbk.
            Temasek dilaporkan melalui dua anak perusahaannya yakni Singapore Telecommunications Ltd (SingTel) dan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT) memiliki saham di dua perusahaan telekomunikasi di Indonesia itu. Namun beberapa pihak mengatakan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Bila nantinya Temasek terbukti melakukan kepemilikan silang dan melanggar UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka adatiga sanksi yang bisa diberikan yaitu pertama menghentikan perilaku kartel/anti persaingan dengan melepas salah satu kepemilikannya di Indosat atau Telkomsel,kedua dikenakan denda berkisar Rp1 Miliar sampai Rp25 Miliar dan ketiga pembayaran ganti rugi kepada negara.
            Kepemilikan silang Temasek Holding pada Indosat dan Telkomsel diduga membuat dua operator ponsel di Indonesia itu masih memberikan tarif tinggi dibandingkan dengan operator lain, yang membawa dampak merugikan bagi konsumen. Diberitakan, kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan KPPU terhadap kasus tersebut tidak bulat karena salah satu anggotanya Benny Pasaribu mempunyai pandangan yang berbeda dengan empat anggota lainnya.
            Benny selanjutnya tidak masuk dalam Majelis Komisi untuk mengatakan haltersebut bisa menimbulkan pertanyaan. Ini merupakan hal yang biasa jika seseorang mempunyai pendapat yang berbeda.
            Sementara itu Senior Vice President Internasional Operation STT, Jaffa Sany, pernah mengatakan bahwa STT akan melakukan upaya banding apabila KPPU menyatakan STT terbukti mempunyai kepemilikan silang.
            Jaffa mengatakan banding tersebut dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri hak STT terhadap saham yang dimilikinya di Indosat. "Pembelaan itu akan dilakukan secara bertahap nantinya, Ini apabila memang STT dinyatakan bersalah oleh KPPU," kata Jaffa.
            Sedangkan Senior Vice President Strategic Relations Corporate Communications STT, Kuan Kwee Jee mengatakan Temasek Holding, STT dan SingTel merupakan perusahaan yang berbeda terbukti dari Dewan Direksi yang terpisah, tidak adanya manajemen sentral dari induk perusahaan dan tidak ada rencan akegiatan ekonomi sentral. "Sehingga kami tidak melanggar Undang-undang Persaingan Usaha (dalam kepemlikan saham di Telkomsel dan Indosat)," kata KweeJee.
            Kwee Jee mengatakan saham Telkomsel dimiliki oleh Telkom sebanyak 65 persen sehingga Telkom mengontrol Telkomsel, sementara Temasek tidak bisa mengontrol Telkomsel. Sementara pada Indosat, kata Kwee Jee, 40 persen sahamnya dimiliki oleh STT bersama dengan Qatar Telecom, dan 14 persen sahamnya lainnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia dan Golder share, serta 46 persen saham sisanya merupakan saham bebas.
            Setelah vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada Temasek dan Telkomsel, kini perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999 Yang Berkaitan Dengan Kepemilikan Silang Yang Dilakukan Oleh Temasek dan Praktek Monopoli Telkomsel kini sedang diuji di tingkat banding keberatan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan.
            Pemeriksaan perkara ini akan sedikit rumit. Karena pihak Telkomsel mendaftarkan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara pihak Temasek Cs mendaftarkan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005, Mahkamah Agung akan menunjuk salah satu Pengadilan Negeri tersebut untuk memeriksa keberatan Temasek maupun Telkomsel.
            Sejak awal perkara dugaan monopoli Temasek dan Telkomsel sudah menarik  perhatian. Banyak investor bersikap wait and see terhadap perkara ini. Mereka menunggu apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan dalam perkara ini. 
            Keberadaan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat diIndonesia adalah hal yang wajar dan berlaku pula di banyak Negara lain, namun penerapan hukum anti monopoli dan anti persaingan usaha tidak sehat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara ini masih cukup membingungkan. Sulit untuk dimengerti bagaimana KPPU baru memutuskan perkara ini setelah lebih satu tahun sejak perkara ini dilaporkan pada tanggal 18 Oktober 2006. Padahal jika dihitung berdasarkan Pasal-pasal dalam UU No 5 Tahun 1999, jangka waktuKPPU untuk membuat keputusan tak lebih dari 160 hari. Pembatasan waktu 160 hari oleh Undang-undang ini bertujuan menjaga adanya kepastian hukum dan tidak dipergunakannya hukum tanpa due process of law. 
b.      Kasus Gresik-Cemex ke Arbitrase Internasional
            Dalam klausul perjanjian antara Cemex dan Semen Gresik memang disebutkan jika terjadi permasalahan, maka akan membawa ke arbitrase internasional. Namun, ada baiknya Semen Gresik maupun Semen Padang melihat permasalahan iniuntuk kepentingan yang lebih besar lagi. Bapepam saat ini tengah menunggu penjelasan dari manajemen Semen Gresik atas kasus ini. Tapi, hingga kini penjelasan itu belum ada.
            "Urusan antar pemegang saham biasanya tidak akan mengganggu kinerja emiten yang bersangkutan. Biasanya Dispute antar pemegang saham mestinya tidak mengganggu kinerja," ungkapnya. Mengenai laporan keuangan Semen Gresik, dapat diselesaikan tepat waktu seperti yang sudah diputuskan.
            Seperti diberitakan, kasus Cemex-Semen Gresik muncul akibat berlarut-larutnya penyelesaian laporan keuangan Semen Gresik karena belum selesainya laporan keuangan Semen Padang. Cemex sebelum mengajukan kasus ini ke arbitrase telah menawarkan sejumlah alternatif penyelesaian. Diantaranya Cemex akanmembeli saham pemerintah di Semen Gresik hingga menjadi mayoritas, atau sebaliknya pemerintah membeli saham Cemex di Semen Gresik.
            Menteri Negara BUMN saat itu Laksamana Sukardi, di tempat yang sama mengatakan pemerintah saat ini tidak memiliki dana untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan Cemex di Semen Gresik sebesar 400 juta dolar AS hingga 500 juta dolar AS. Kita tidak punya dana dan juga APBN kita kan defisit, itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Untuk mengatasi permasalahan di Semen Gresik, kemungkinan pemerintah akan menjual saham milik Cemex kepada pihak ketiga.
            Ia optimis industri semen masih memiliki prospek sangat baik. Namun, hal itu tergantung pembangunan fisik di Indonesia. "Kalau tumbuh terus pembangunan fisiknya, infrastruktur dan konstruksi, saya kira permintaan terhadap perusahaan semen sangat baik. Tidak semata-mata pemerintah yang harus beli. Pemerintah bisa menjembatani pada pihak ketiga."
             Namun ketika disinggung pihak mana yang sudah menyatakan minatnya untuk membeli saham milik Cemex, dia mengaku belum bisa menyebutkan dengan alasan masih rahasia. Soalnya, saat ini masih terus melakukan pembicaraan dengan Cemex untuk mencari solusi terbaik.


 

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan mengenai pokok bahasan sebagaimana tercantum dalam bab – bab sebelumnya, maka dalam bab IV ini penulis mencoba untuk menarik kesimpulan dan saran – saran yang sekiranya dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan pembaca makalah ini.
  1. Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
  2. Undang-undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 merumuskan suatu perjanjian arbitrase sebagai perjanjian tertulis untuk menyerahkan sengketa atau perbedaan yang timbul sekarang maupun yang akan datang kepada kepada arbitrase.
  3. Peranan arbitase dalam menyelesaikan sengketa bisnis yaitu penyelesaian dunia bisnis melalui lembaga arbitrase menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa dan memiliki kemampuan sistem menyelsaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.
4.2 Saran
Diharapakan para pihak dalam menghasilkan suatu keputusan yang benar-benar sesuai dengan prosedur dan keberadaan perundang-undangan yang ada tentang alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.







Daftar Pustaka
jefridayakk.blogspot.co.id/2014/02/proses-penyelesaian-sengketa-melalui.html
iqbalamaludin.blogspot.co.id/2013/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html